Berdarah-Darah Nonton Darah Garuda

Ekspektasi saya berlebihan. Saya kira pada sekuel kedua ini akan ada kejutan-kejutan manis yang membuat saya makin cinta dengan film besutan Yadi Sugandhi ini. Tapi, film ini justru membosankan. Banyak yang mubah di film Darah Garuda, sekuel dari Merah Putih.
Marius (Darius Sinatrya), Thomas (Donny Alamsyah) , Amir (Lukman Sardi) dan Dayan (T. Rifnu Wikana), empat tentara rakyat yang masih hidup itu terus melanjutkan perjuangannya untuk kembali merebut kemerdekaan Indonesia. Berlatar Agresi Militer Belanda tahun 1947 (entah satu atau kedua), Darah Garuda diawali dengan misi untuk menyerang kamp tawanan (dimana istri Amir dan "Pacarnya" Thomas ditawan) Belanda sekaligus untuk menghancurkan pusat logistik dan bahan bakar milik Belanda.

Empat orang, melawan tentara Belanda yang jumlahnya ribuan? Rasanya tidak mungkin ya. Oleh karena itu, Amir Cs dipertemukan dengan sesama pejuang kemerdekaan lainnya. Dulu, karena banyak tentara yang membelot dan memihak Belanda, maka setiap kali satu kelompok tentara bertemu dengan kelompok lainnya, bukannya saling menyapa ramah, tetapi malah saling curiga.

Begitu pula yang dialami oleh Amir CS. Dikira pro penjajah saat bertemu dengan sekelompok tentara Jawa yang dipimpin oleh Jenderal Soedirman, mereka awalnya ditahan. Namun dibebaskan setelah dijelaskan kalau mereka pro kemerdekaan. Nah, di sini, Amir CS ketemu Sersan Yanto (Ario Bayu) yang mulai membuat Amir ragu dengan teman-temannya.

Kata Sersan Yanto, apa tujuan Marius yang orang kaya itu ikut berjuang? Apa maksud si kristen dari Manado Thomas sok-sok heroik ikut membela kemerdekaan Indonesia? Lalu si Dayan yang Hindu dari Bali, motif dia bergabung di tentara rakyat? Jangan-jangan mereka itu adalah mata-mata Belanda? Amir, yang awalnya pencaya sepenuhnya pada teman-temannya itu, kini agak berhati-hati. Sersan Yanto sukses ngomporin Amir :D

Selain ketemu Pejuang di bawah pimpinan Jenderal Soedirman, Amir Cs juga dipertemukan dengan tentara Hizbullah (bok, udah ada ya jaman dulu?). Dan tetap, kali pertama bertemu Amir Cs ditahan, dikira mata-mata. Tapi itu nggak penting, karena adegan di bagian ini merefleksikan apa yang terjadi di Indoensia sekarang. Entah sengaja atau enggak, tapi ada adegan dimana Pimpinan Hizbullah (diperankan oleh Alex Komang) itu memberikan bom-bom kepada Amir Cs untuk diledakan di markas Belanda.

Nah lho, jadi ingat sama Ustad Abu Bakar Baasyir kan? Aduh, semoga adegan ini nggak ada maksud untuk menyudutkan atau mendiskreditkan Islam sebagai Agama teroris (bok, jaman jebot, mereka udah mensuplai bom untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia?)

Saya nggak mau cerita detail alur cerita film ini. Nah, sekarang tangan saya sudah gatal untuk menuliskan kritik saya terhadap film ini. Pertama yang bikin saya kecewa dengan film ini adalah ketidakhadiran bintang favorit saya Zumi Zolla yang berperan sebagai Soerono di Merah Putih (tokoh Soerono mati tertembak di film pertama). Mas Yadi, dulu pernah janji ke saya (eyaa.. berasa kenal deket. Tapi waktu ngobrol dulu, dia memang janji) kalau nanti ada cerita flashback tentang keluarga Soerono. Ada sih, tapi sedikit banget dan saya kurang puas memandangi muka imutnya Zumi.

Oke, kritik pertama itu cuma intermezo. Darah Garuda, 45 menit pertama alur ceritanya benar-benar lambat dan berimbas pada kebosanan. Jujur waktu nonton ini saya ngantuk dan lebih milih internetan lewat handphone. Cerita tentang Amir Cs yang ketemu dua kelompok pejuang itu benar-benar membosankan. Nggak ada adegan yang bikin mata ini enggan mengalihkan perhatian dari layar putih raksasa di depan bioskop.

Nah, di bagian akhir baru deh adrealin dipacu luar biasa dengan adegan meledak dan tembak-tembakan. Ini kualitas Hollywood (ya iyalah, wong efeknya ditangani orang-orang dari Hollywood). Menonton adegan meledak dan tembak-tembakan ini, rasanya seperti nonton Saving Private Ryan atau Black Hawk Down. Kereeen banget efeknya. Paling suka dengan adegan sadis dimana Dayan menusuk lidah tentara Belanda dengan belatinya. Ya tuhan, lidah tentara Belanda yang ditusuk, bersimbah darah itu benar-benar diperlihatkan terang-terangan. Hiiii.....

Yang juga jadi favorit, ya adegan Amir CS meledakan tempat penyimpanan bahan bakar dan lapangan udara Belanda (juga ledakan di markas Belanda di lawang Sewu). Beh.... canggih bener efeknya! Oya saat meledakan ini ada adegan yang bikin seluruh penonton geregetan. Dayan yang tertembak di kaki berusaha naik ke pesawat yang dikemudikan oleh Marius. Udah kepegang tangannya oleh Amir, eh kelepas, kepegang lagi, eh kelepas lagi.. begitu terus sampai akhirnya Dayan berhasil naik ke pesawat.

Nah, di Darah Garuda juga ada sepenggal kisah perjuangan perempuan di jaman kemerdekaan. Tapi menurut saya nggak penting. Nggak ada pengaruhnya pada film ini. Apalagi peran perempuan-perempuan ini dimainkan secara berlebihan oleh aktris-aktrisnya. Ada Rahayu Saraswati yang berperan sebagai Senja, Atiqah Hasiolan sebagai Lastri dan Astri Nurdin sebagai Melati.

Pertama si Senja. Bok, nih cewe drama queen banget. Sebentar-bentar merajuk dan mengeluh. Dan kelihatan banget aktingnya tidak natural dan dibuat-buat. Aneh. Apalagi saat dia pura-pura jadi tentara cowok dan ikut berperan. D'oh, sempet amat ya jaman dulu bikin jenggot dan kumis palsu di mukanya. Pake areng mbaaaa?? Dan gw bingung kenapa dia memerankan adiknya Soerono yang dikisahkan berdarah Belanda-Indonesia. Zumi sebagai Soernono sih pas ya, putih-putih kebule-bulean. Tapi si Saras? Aduh hideng kayak aku (walau aslinya putih nih orang) dan mukannya agak Ambon. Lha, nggak sinkron dong? (dalam hati: yee... dia kan anaknya penyandang dana film ini, makanya perannya di ada-adain! *Saras anaknya Hasjim Djojohadikusumo*)

Lastri. Sebenarnya saya ngefans berat sama Atiqah. Tapi di sini dia lebaaaay!! Berlebihan dan aktingnya terlalu teatrikal! Ya, sama drama queen-nya sama Senja, tapi ini versi tegar dan survive menghadapi kemelut hidupnya sebagai seorang comfort woman.

Melati? Datar. Nggak mau komentar ah. Perannya sudah pas.

Nah, ada peran mubah di film ini. Prajurit Budi.Hadoooh, nggak ngerti kenapa tiba-tiba ada tentara cilik di film ini yang toh kalau dihilangkan tidak akan memberi pengaruh kepada film. Kecurigaan saya, si Aldi yang memerankan Budi adalah saudaranya (entah itu anak atau keponakan) si penyandang dana. Habis, dia nggak penting. Cuma bantu tembak-tembak dan menjadi satu-satunya tentara yang hapal dengan nilai perjuangan Jenderal Soedirman. Peace ya Aldi maniiiiiisss :D

Hayo tebak, bagian mana yang paling saya suka dari keseluruhan film ini? Ya bagian dimana Rudy Wowor (yang berperan sebagai kapten van Gaartner) dan orang-orang Belanda lain yang ngomong pakai bahasa Belanda. Hihihi... saya nggak perlu lihat subtitle terjemahan dalam bahasa Indonesia. Udah ngerti karena itu bahasa ibu saya (hiyaaah... bahasa kedua deng). Mungkin saya doang yang nyengir-nyengir dengar tentara Belanda spreken-spreken in het Nederlands. Oom Rudy, bahasa Belandanya luaaaaaar biasa baguuuus :D

Kalau disuruh kasih bintang dari satu sampai sepuluh, saya kasih tujuh! Meskipun membosankan tetapi terbantu dengan efeknya yang teriffic dan kehadiran londo-londo yang berbahasa Belanda :D

Comments

  1. jujur, gue bilang film ini jelek. Ceritanya cukup menjanjikan sih, kalau digarap dengan lebih dalem lagi. Tapi untuk kualitas aktingnya? gak ada yang bagus satupun! baik yang senior maupun yang junior. kok gue berasa nonton orang baca puisi, ya?

    ReplyDelete

Post a Comment