Paradise 2: Teta dan Monica

Saya bertemu dua gadis pemimpi: Teta dan Monica

Teta dan Monica. Gadis Pemimpi Belitung

5 November

Ketika sedang asik menikmati pemandangan Pantai Tanjung Tinggi, dua orang gadis lokal mengikuti pergerakan kami. Mereka mencari perhatian dengan cara menyanyikan lagu Laskar Pelangi. Awalnya tak kami gubris, namun, ketika mereka mulai cari perhatian dengan cara yang ekstrim (menyanyi sembari locat-loncatan di atas batu raksasa), akhirnya kami mengajak mereka berkenalan.

Teta dan Monica. Teta, kelas lima SD, agak pemalu. Monica, kelas empat SD, percaya diri dan dewasa sebelum umurnya.

si pemalu Teta. Cantik ya dia

Dua gadis ini menjadi pemandu kami menyusuri bebatuan di pinggir Pantai Tanjung Layang. Mereka mengajak kami naik ke atas batu raksasa tersebut.Jujur, saya kesulitan saat hendak mendaki batu setinggi lima meter. Beberda dengan Teta dan Monica yang dapat dengan mudah memanjat dan berpindah dari satu batu ke batu lainnya.

Ketika menyaksikan mereka loncat-loncat di atas batu, saya memperingatkan mereka untuk berhati-hati.

"Hey, hati-hati nanti jatuh lho!" kata saya.

"Tidak apa-apa. Toh umur manusia sudah diatur oleh Allah. Tidak perlu takut mati," kata Monica.

Saya benar-benar terkejut, kalimat semacam itu dilontarkan oleh gadis kecil berusia sembilan tahun.
manjat dan loncat-loncatan batu raksasa, mereka ahlinya

Saya tertarik dengan dua gadis ini. Tertarik dengan kisah hidup mereka. Apakah semenarik kehidupan Andrea Hirata?

Kami mengobrol, bertanya macam-macam hal tentang kehidupan anak di Belitung.

"Teta, kelas berapa?" tanya saya.

"Kelas lima," Monica yang menjawab pertanyaan saya.

"Kalau kamu kelas berapa?" tanya saya ke Monica

"Kelas empat," kata Monica.

Selanjutnya saya bertanya mengapa mereka berada di tempat ini. Apakah rumah mereka dekat Pantai Tanjung Tinggi?

Monica yang menurut saya memunyai jiwa kepemimpinan, menjawab semua pertanyaan yang saya ajukan kepada mereka. Monica bercerita sekolahnya jauh dari Pantai Tanjung Tinggi. Setiap pagi, pukul enam mereka bersepeda menuju sekolah. PUlang sekolah, mereka tak langsung pulang ke rumah. Mereka mampir ke tempat kerja orang tua mereka di Pantai Tanjung Tinggi.

Orang tua Teta dan Monica adalah karyawan di Restoran tempat kami makan siang. Kalau menurut saya, mereka di sana bukan untuk membantu orang tuanya, justru malah menggerecoki pekerjaan ibunya. Mereka bahkan memakan barang dagangan di Restoran itu.

Monica gadis yang pintar, meski akunya, Teta jauh lebih pintar darinya. Ini dikarenakan Teta selalu menjadi juara kelas, sementara Monica sekali dua kali menjadi yang terpintar di kelas.

"Saya tidak juara kelas, tetapi nilai Agama saya selalu dapat 100," kata Monica membanggakan diri.

Oleh karena nilai mata pelajaran Agamanya bagus, Monica pun berkeinginan untuk menjadi seorang Guru.

"Saya ingin menjadi guru. Sebenarnya ingin menjadi guru Agama. Apapun lah. Yang penting saya jadi Guru," kata Monica.

"Kayak Ibu Halimah (guru Andrea Hirata) ya?" celetuk saya. Monica hanya tersenyum.


Ketika kami tengah menyantap makan siang di Restoran itu, Monica dan Teta mondar-mandir dihadapan kami. Bukannya ingin meminta makanan, mereka malah ingin tahu apa yang kami makan. Setelah mengetahui apa yang kami makan, Monica dan Teta akan menampakan diri di depan kami sembari mengunyah makanan yang kami makan.

Setelah makan, kami berteduh di pinggir pantai. Saya, Monica, teta, Fahmi, Dimas, Tommy dan Nia (rekan-rekan petualang saya). Kami mengobrol. Saya ceritakan kepada Fahmi bahwa Monica ini pintar.

Fahmi mengajak Monica mengobrol atau lebih tepatnya mengejek-ejek Monica.

"Ih rambutnya bau," kata Fahmi


"Hey, sesama manusia tidak boleh saling mengejek. Tak apa rambutku bau. Daripada perut kau gendut, seperti jin botol," kata Monica yang disambut tawa oleh kami.
Teta, Saya dan Monica

Sayang, pertemuan kami tak berlangsung lama. Saya dan kawan-kawan harus kembali ke kemah. Sebelum pulang, saya tunjukan hasil jepretan saya dengan objek Monica dan Teta. Saya bilang, kalau kamu punya handphone, fotonya bisa saya bluetooth. Sayang keduanya tak punya handphone. Saya tanya alamat rumah mereka, siapa tahu, jika sempat saya bisa cetak foto itu dan dikirim ke Belitung.

Oya, satu hal yang menurut saya menyedihkan. Teta dan Monica belum menonton sekuel film Laskar Pelangi, yaitu Sang Pemimpi. Film Laskar Pelangi mereka tonton di acara layar tancap beberapa waktu lalu yang digelar di Belitung. Sementara Sang Pemimpi, belum masuk ke bioskop MISBAR (gerimis bubar) Belitung. Padahal, di film kedua itu, ada sepupu Monica yang berperan sebagai adik Lintang.

Saat itu Rasanya saya ingin kembali ke Jakarta, membawa Laptop yang berisi film Sang Pemimpi ke Belitung. Agar Monica bisa menyaksikan acting sepupunya di film tersebut.

Comments