Mulyono, Dipecat Karena Memprotes Menteri

Mulyono Machasi dan Amrun Daulay saat bersaksi


Kamis[21/4], seperti biasa saya meliput persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi [Tipikor]. Pagi itu, saya berniat meliput sidang perkara kasus dugaan suap pemenangan Miranda Swaray Goeltom dalam pemilihan Deputi gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004.

Sidang kasus Miranda yang mengagendakan pembacaan eksepsi itu digelar di lantai dua. Setengah jam saya mendengarkan pembacaan nota pembelaan baik dari terdakwa maupun kuasa hukumnya. Tak ada yang bagus. Tak bisa ditulis. Saya dan Fathan, kawan saya memutuskan untuk kembali ke KPK. Di sana ada pernandatanganan nota kesepahaman antara KPK dengan BPKP.

Kami turun ke lantai bawah. Di situ, ada seorang wartawan senior yang memanggil kami. Ia tengah mendengarkan sidang perkara lainnya dari televisi.

"Bagus nih. Ternyata spesifikasi mesin jahit nggak sesuai," kata Pak Supri, nama wartawan senior itu.

Pak Supri menceritakan jalannya sidang kasus dugaan korupsi bantuan sosial pengadaan mesin jahit untuk fakir miskin di Departemen Sosial [depsos] tahun 2004-2008. Menarik. Kami memutuskan untuk tinggal dan mendengar sidang hingga selesai.

Sidangpun selesai. Saya dan Fathan berencana untuk mewawancarai dua orang saksi kasus tersebut. Mereka adalah Mulyono Machasi, mantan Direktur Bantuan Sosial Fakir Miskin Departemen Sosial dan Amrun Daulay, eks Direktur Jenderal Bantuan Jaminan Sosial.

Kami menunggu di depan lift. Tak lama kemudian, pria tambun berbatik biru keluar dari lift. Dialah Amrun. Bersama Amrun, dalam lift tersebut ada dua orang paruh baya yang sepertinya asisten Amrun dan pria tua berjaket hitam.

Kami dekati Amrun. Begitu tahu kami adalah wartawan, Amrun menghindar. Tak mau memberikan komentar tentang penetapan dirinya sebagai tersangka kasus korupsi mesin jahit. Kami membuntutinya hingga ke mobilnya. Namun Amrun diam seribu bahasa.

Saya kemudian bertanya pada Fathan. Mana Mulyono? Kami memandang sekeliling. Fathan lantas berjalan ke luar pengadilan tipikor. Ia mendekati pria tua berjaket hitam yang menggendong ransel hitam besar.

"Boy, itu Mulyono," kata Fathan.

Saya agak ragu. Benarkah itu Mulyono, mantan direktur di Depsos. Penampilannya sama sekali tak menunjukan profesi yang pernah diembannya dulu. Fathan menyapa Mulyono dan mulai mengobrol. Oke, sekarang saya yakin itu Mulyono.

Saya menyalaminya. Mengenalkan diri. Saya memperhatikan wajahnya lekat-lekat. Kepalanya botak. Wajah cokelatnya berpeluh. Tampak raut kelelahan di wajahnya. Kedua matanya yang bersembunyi di balik kaca mata peraknya terlihat sayu. Kumis dan jenggot panjang bak kader PKS miliknya sudah memutih. Ketika ia tersenyum, saya bisa melihat susunan giginya yang tak rata.

Kami mulai mengobrol. Di trotoar depan gedung pengadilan tipikor, di bawah sebuah pohon.

Fathan bertanya detail spesifikasi mesin jahit yang sesuai itu. Mulyono menceritakan bahwa rekanan depsos dalam pengadaan mesin jahit itu, yaitu PT Lasindo telah berbuat curang. Mesin jahit yang diberikan ke fakir miskin tersebut adalah mesin jahit yang biasa digunakan untuk industri.

"Wattnya 440. Harusnya 250 watt. Tapi mereka mengakunya 250 watt," kata Mulyono sembari mengelap peluh di jidat dengan tangannya.

Mulyono mengatakan ia sudah memberitahu Menteri Sosial kala itu, Bachtiar Chamsyah bahwa spesifikasinya tidak cocok. Selain itu, Mulyono juga menyarankan agar pengadaan ini dilakukan melalui proses tender. Akan tetapi Bachtiar tetap memaksa penyedia mesin jahit adalah PT Lasindo.

"Gara-gara protes itu saya dipecat," kata Mulyono lirih.

"Di-nonjob-kan juga ya, Pak?" tanya Fathan.

"Iya, di-nonjob-kan dulu selama setahun. Saya tidak punya meja, tidak punya kursi dan tidak punya ruangan. Bingung juga kan mau mengerjakan apa. Setelah itu saya dipecat," cerita Mulyono.

"Yang memecat itu Pak Menteri?" tanya saya.

"Iya," jawab Mulyono.

"Tapi tetap dapat uang pensiun kan, Pak?" tanya Fathan penasaran.

"Iya. Pensiun itu kan hak saya," kata Mulyono yang tampak sudah ingin mengakhiri pembicaraan.

Saya dan Fathan masih penasaran dengan detail cerita pemecatan Mulyono.

"Saya mau pulang. Mana ya bisnya," kata Mulyono sembari memperhatikan angkutan yang berlalu lalang di Jalan Rasuna Said.

"Pulang kemana, Pak?" tanya saya.

"Jogja," jawabanya tanpa menoleh ke arah saya.

"Bapak sekarang tinggal di Jogja? Tadi datang dari Jogja?" tanya saya lagi dan dijawab dengan anggukan.

Tiba-tiba sebuah mobil Toyota mewah keluar dari Gedung pengadilan tipikor. Di dalamnya ada Amrun, duduk di kursi penumpang. Mobil itu berhenti sesaat, kaca jendelanya diturunkan sedikit. Amrun melambaikan tangan pada Mulyono dan Mulyono balik melambaikan. Selanjutnya, mobil mewah itu melaju kencang membelah jalanan Jakarta. Mungkin menuju DPR, karena Amrun merupakan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat.

"Sudah ya. Saya mau cari makan dulu ke situ," kata Mulyono menunjuk ke arah pasar Festival.

"Iya Pak. Hati-hati ya Pak. Makasih Pak," kata saya dan Fathan.

Sungguh pemandangan yang mengiris hati. Saya dan Fathan mendadak diserang rasa sedih. Gila.. Mulyono dipecat gara-gara dia protes kepada Menteri. Tujuan Mulyono protes adalah agar proyek tersebut tidak menyimpang dan dijalankan sesuai dengan peraturan yang ada. Mengapa ia harus dipecat?

Yang membuat kami lebih sedih adalah ketika menyaksikan Amrun melambai dari dalam mobil. Sebagai mantan rekan kerja mengapa Amrun begitu sombong hingga tak mau mengajak Mulyono ikut dalam mobilnya. Paling tidak basa-basi diajak makan siang bersama atau minum kopi. Apakah karena Mulyono kini orang miskin, lantas ia tak level untuk naik mobil mewah Amrun? Seperti inikah gambaran manusia Indonesia sekarang? Sombong, angkuh, jumawa? Keterlaluan!

Oh, atau saya harus berpikir positif. Mungkin Amrun terburu-buru. Ada urusan lain, mungkin sidang atau rapat penting lainnya? Ya, mungkin saja.

Semoga Tak Jadi Tersangka

Dalam proses pengadaan mesin jahit, pejabat Depsos termasuk Amrun, Mulyono dan Bachiar mengadakan kunjungan kerja ke China. Rencananya mereka akan melihat mesin jahit merek JITU yang diproduksi di China.

Akan tetapi kunjungan kerja berubah menjadi plesiran. Pejabat Depsos tak pernah mengunjungi pabrik mesin jahit. Ada tim lain yang memang sudah disiapkan untuk menilik mesin jahit yang akan dibagikan gratis kepada fakir miskin.

Yang juga menjadi masalah adalah kunjungan kerja itu tidak ada surat perintah jalan [SPJ]. Normalnya dalam setiap kunjungan kerja, selalu ada SPJ. Namun saat itu, Mulyono mengaku ia tidak mengisi form SPJ.

"Lantas siapa yang membayar jalan-jalan tersebut?" tanya Albertina Ho, majelis hakim yang memimpin sidang hari itu.

"Tidak tahu," kata Mulyono.

Diduga, orang yang membiayai plesiran pejabat Depsos ke China adalah Musfar Azis. Ia adalah pemilik PT Lasindo. Tak hanya dibiayai ongkos perjalanan ke China, mereka juga mendapatkan uang saku. Mulyono mengaku mendapat US$ 2500 setelah pulang dari China. Akan tetapi, ia mengaku uang tersebut sudah dikembalikan.

Dibayari ongkos perjalanan dan mendapat uang saku, bagi seorang pegawai negeri setingkat Mulyono adalah gratifikasi. Ya, penerimaan itu melanggar pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No31/1999. Berdasarkan undang-undang itu, Mulyono salah, karena telah menerima fasilitas tersebut. Ancaman hukumannya minimal empat tahun maksimal 20 tahun.

Hakim Albertina nampaknya tidak tega jika Mulyono terseret kasus ini. Sehingga saat memeriksa Mulyono sebagai saksi, Hakim Albertina sampai mengeluarkan pernyataan seperti ini:

"Semoga sampai kasus ini berakhir, Anda tidak sampai dijadikan tersangka," kata hakim yang menangani kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan.

Saya pun berharap demikian. Tak perlulah Mulyono dijadikan tersangka. Dipecat sudah menjadi hukuman untuk Mulyono. Jika Mulyono sampai dipidana, rasanya tak adil. Apalagi dia sudah berusaha mencegah agar korupsi mesin jahit itu tak terjadi.



Comments