Menuju Rumah Nenek

Lebaran tahun ini, kami sekeluarga sepakat untuk merayakannya di rumah Nenek di Purwokerto. Oh ya, tidak seluruh keluarga. Abang dan kaka ipar saya terpaksa tinggal di Jakarta, karena ada pekerjaan penting.

Kami sudah lama tak pulang. Entah kapan terakhir kali kami berlebaran di Purwokerto. Seingat saya, dua-tiga tahun lalu, Ibu dan bapak saya ke Purwokerto untuk menghadiri pernikahan sepupu.

Kami sekeluarga sempat ragu. Pulang nggak ya. Rencana pulang hari Jumat ditunda karena saya masih bekerja. Hari Sabtu masih ditunda, saya masih bekerja. Akhirnya, keputusan bulat. Kami pulang Minggu siang ke Purwokerto.

Hari Minggu, dengan nekat kami menuju Pool Damri Kemayoran. Kami pulang kampung menggunakan bis. Dan pilihan jatuh ke Damri karena faktor keamanan.

Tak disangka, saat tiba di Pool Damri, orang berjubel mengantri tiket. Bapak saya yang tidak sabaran itu, mencari informasi tentang mobil yang paling awal berangkat.

Jakarta- Bobotsari. Itu jurusan yang kami pilih. Seharusnya Jakarta-Purwokerto. Tapi, karena penjualan tiket didasarkan oleh mobil yang siap berangkat, maka kami terpaksa memilih Jakarta-Bobotsari.

Dengan jurusan Jakarta- Bobotsari, seharusnya, kami bisa turun lebih dekat. Tak perlu ke Terminal. Akan tetapi dengan alasan susahnya angkutan dari Bobotsari menuju rumah nenek, bapak putuskan turun di terminal bus Purwokerto.

Dalam bis, kami duduk di kursi paling belakang. Namun, saat kami sudah duduk manis, ada orang lain yang merasa kursinya ditempati oleh kami. Memang, kami duduk bukan di kursi kami. kursi milik kami diduduki orang lain. Dan kursi orang lain itu diduduki orang lainnya.

Ini sepenuhnya kesalahan penjual tiket yang salah menomori kursi. Akhirnya, dicapai kata sepakat: duduk tak apa tak beraturan asal semua penumpang bertiket kebagian kursi.

Satu masalah terselesaikan. Masalah berikutnya kembali muncul. Supir bus yang mungkin mengetahui adanya kemacetan panjang di jalur utara, memutuskan untuk mengambil jalur selatan, melalui Bandung, Tasikmalaya dan Ciamis.

Lancar sudah pasti. Akan tetapi, resiko dari jalur selatan adalah kami melalui jalan yang berliku dan curam. Sering kali ada tikungan patah nan tajam yang membahayakan.

Karena kami duduk di belakang, tepat di atas roda, setiap ada jalan yang tak rata, kami merasakan goncangan yang lumayan membuat jantung berdebar.

Apalagi Ibu. Ibu sangat khawatir, takut terjadi apa-apa dengan kami. Kebetulan saya duduk samping Ibu, saya bisa lihat guratan ketakutan di mata Ibu. Malah satu kali, saat Ibu tidur, lalu terjadi guncangan yang amat keras, Ibu terbangun dengan wajah resah dan berteriak: Allahu Akbar. Segera saja, saya menggenggam tangannya.

Alhamdulillah, setelah itu, Ibu bisa tidur nyenyak. Demikian pula saya.

Tidak menyenangkan memang, pulang kampung dengan kendaraan umum. Kita tidak bisa seenaknya berhenti di tempat peristirahatan. Semuanya bergantung pada supir yang menentukan lokasi pemberhentian.

Karena hal ini, saya dan adik saya, Gadis harus menahan pipis. Kasihan Gadis, ia sedang menderita anyeng-anyengan [pipis terus menerus dalam jumlah sedikit]. Ia harus menahan pipis dari jam 4 sore sampai jam 10 malam.

Saat berhenti dan bisa pipis, adik saya menyiasati penyakitnya itu dengan memakai pembalut.

Kemudian, di saat mobil berhenti, saya mendapati kaki Ibu bengkak. Mungkin karena duduk dalam posisi lama dan tidak bisa bergerak menyebabkan peredaran darah ke kaki Ibu tidak sempurna.

Lagi-lagi, saya melihat guratan lelah, kesal dan resah di wajah Ibu.

Alhamdulillah, setelah perjalanan panjang hampir 10 jam, kami tiba di rumah nenek.

Nenek agak kaget begitu melihat kami. Tapi langsung mempersilahkan kami masuk dan beristirahat. Wajah Ibu langsung sumringah. Berbagai macam cerita mulai mengalir dari mulutnya.

Comments