Makan Malam Seharga RP 1,8 juta

Kali ini ijinkan saya untuk menulis dalam bahasa ibu saya, Bahasa Indonesia [selama ini saya bertetap hati untuk melatih kemampuan menulis saya dalam Bahasa Inggris]. Ini atas permintaan seorang teman, reporter kondang yang dalam waktu senggang suka seliweran di blog orang. Nah, Pangeran Punce, nama reporter itu ceritanya komplain dengan seiipritnya cerita perjalanan saya di Jepang.

Benar juga sih. Saya cuma menulis dua cerita selama tujuh hari di Jepang. Padahal, saat itu saya mengalami siklus hidup terhebat dalam hidup saya. Berkeliling Jepang gratis, mengunjungi berbagai lokasi pariwisata terbaik, tidur dan makan di tempat termewah, dan tak lupa menyaksikan kecanggihan tekhnologi Jepang.

Saya pun bingung harus mulai dari mana. Beberapa detail kisah perjalanan saya di Jepang sudah menguap. Lagi-lagi Punge, sapaan akrabnya, benar. Saya harus menuliskan pengalaman di Jepang sebelum seluruh ingatan itu tergerus waktu.

Sulit untuk mengingat pengalaman itu tanpa membukan itenerary perjalanan ke Jepang. Dokumen berisi daftar kegiatan lengkap dengan tanggal, waktu dan tempat itu membawa saya kembali ke Jepang, 6 November 2011.

Hari pertama di Jepang. Saya dan Mas Efendi, rekan saya dalam perjalanan ini, mendarat di Bandar Udara Narita. Saat itu Narita sangat ramai, sampai-sampai kami harus mengantri mengurus imigrasi.

Ada yang unik dalam pengurusan imigrasi. Selain harus mengisi kartu imigrasi yang dibagi-bagikan dalam pesawat, setelah sampai di counter imigrasi bandara, kami harus melakukan pengecekan sidik jari dan difoto.

Si petugas imigrasi lalu berbasa-basi menanyakan maksud kedatangan kami di sini sembari membuatkan sticker tanda diijinkan masuk ke Jepang. Ketika saya lihat, saya agak shock sekaligus senang.Wah, dikasih ijin tinggal selama dua minggu di Jepang. Haha, ternyata saya baru ingat, ketika mengisi kartu imigrasi, saya memasukan angka 12 dalam kolom durasi tinggal di Jepang. Padahal 12 yang saya maksud itu adalah tanggal.

Lolos imigrasi dan custom di Bandara Narita, seorang perempuan berseragam memegang papan nama kami berdua: Mr. Effendi and Ms. Rizky Amelia. Saya berniat mengerjai ibu-ibu itu. Tapi Mas Effendi keburu mendekati dia.

Kami pun diantar menuju Hotel Grand Pacific La Daiba yang berada di pinggiran kota Tokyo. Narita menuju hotel ditempuh dalam waktu satu jam. Sepanjang jalan, saya memandangi jalan-jalan di Tokyo yang sore itu tampak lenggang sambil sekali-kali mengobrol dengan Eno-San, supir yang disewa oleh Panasonic.

Di hotel, kami disambut oleh seorang tour guide bernama Yoshi Matsumoto. Kami mengobrol sebentar, lalu menuju ke kamar masing-masing di lantai 31.

Saya mendapatkan kamar yang indah. Bisa dikatakan kamar itu tergolong kamar yang mewah. Dan sebagai bonus, saya diberikan kamar persis menghadap ke teluk tokyo. Bayangkan, hamparan luas laut, ujung jembatan yang melengkung menantang langit dan pemandangan sebagian kota Tokyo.



Puas mengangumi seluruh fasilitas hotel, saya dan Effendi harus berkumpul dengan peserta tour lainnya di ballroom lantai 31. Di sana akan diadakan briefing sekaligus perkenalan dengan peserta  tour dari Asia, Eropa dan Amerika.

Dari Amerika, ada Leon, Amanda, Yuka dan Amy. Pada pertemuan pertama itu, keempatnya tak hadir entah dengan alasan apa. Saya baru bertemu Tim Amerika ini pada hari kedua saya di Jepang.

Jerman mengutus dua orang jurnalis handal yang salah satunya bernama Benjamin. Selain Jerman, negara Eropa lain yang diundang mengikuti tur ini adalah Polandia (diwakili oleh Joanna), Inggris (jurnalis senior dari The Telegraph UK, David Harison) dan Spanyol (diwakili oleh Ana dan Maria)

Dari Asia dan Oceania, ada Indonesia (Saya dan Effendi), Vietnam  (Bach) dan Selandia Baru (William Mace).

Acara ramah tamah selesai, saya dan mas Effendi langsung pergi ke restoran China di lantai dasar. Kami mendapatkan kupon makan dengan jatah pembayaran maksimal 19000 Yen atau sekitar Rp 1,9 juta. Wow... dan malam itu kami memesan makanan yang paling enak, paling nikmat.

Kami memilih Spicy Prawn, udang mentah berbumbu pedas. Lalu Roasted Duck, daging bebek lembut namun memiliki kulit yang renyah dan tiga jenis sayuran tumis yang gurih dan menyegarkan.





Tebak, berapa total biaya makan malam kami saat itu? Rp 1,8 juta atau sekitar 18000 yen. Saya sih nggak terkejut makan malam bisa segitu mahalnya. Soalnya, di hari terakhir di Jepang, saya membeli satu buah gorengan olahan uang (semacam shrimp roll) seukuran kotak korek api seharga Rp 40 ribu. Yaa, Living cost di Jepang memang tergolong mahal.

Nah, setelah menghabiskan Rp 1, 8 juta, saya dan Mas Effendi jalan-jalan ke Aqua City. Semacam mall yang terletak tak jauh dari hotel tempat kami menginap. Persis di halaman mall, ada semacam festival yang menampilkan kesenian tradisional Jepang. Saat itu saya ingin saya menonton, tetapi hujan rintik-rintik jelas tak baik untuk kesehatan. Maka dari itu, saya putuskan untuk melanjutkan berjalan ke Aqua City.

Kami berniat membeli simcard untuk Blackberry yang sudah mati suri semenjak kami keluar dari wilayah Indonesia. Setelah dicari-cari, kami mendapati bahwa simcard dijual satu paket dengan handphone. Kami akhirnya mengurungkan niat membeli simcard dan malah beralih mencari barang-barang lainnya.

Saya tertarik dengan sebuah toko yang menjual sepatu boots dengan harga sangat murah, yaitu 350 yen. Serius, saya tidak bohong. Ada label yang mencantumkan harga boots itu. Saya mau beli boots tersebut, akan tetapi saya agak ragu dengan kualitas tapak boots yang terbuat dari spoons. Akhirnya, niatan membeli boots saya urungkan dan beralih ke ear warmer.

Saya membeli ear warmer dengan harga yang sangat miring, yaitu  Rp15 ribu. Barang ini tergolong sangat murah karena saya beli toko Daisho, dimana semua barang dibanderol dengan harga 150 yen. Saking murahnya ear warmer ini, saya sampai membelikan satu buah lainnya untuk Anda.

Itu hari pertama saya di Tokyo. Hari kedua di Tokyo sudah pasti lebih seru karena lebih banyak uang yang saya belanjakan dalam rangkan membantu meningkatkan perekonomian Jepang. Haha, itu tadi gurauan a la Yoshi setiap kali kami tiba di pusat perbelanjaan. Belanja sebanyak-banyaknya. Bantu kami meningkatkan perekonomian kami.

Comments

  1. kalo ke sono pake gaji reporter gimana yak.. ahahahaha *horor

    ReplyDelete
  2. hahaha nggak mampu lah. harus nunggu undangan liputan :p

    ReplyDelete

Post a Comment