Going Solo: Lost In Translation

Hari kedua solo traveling sekaligus hari pertama di Hatyai Thailand.

Seperti cerita sebelumnya, saya dalam perjalanan menuju kota perbatasan Thailand dan Malaysia menggunaka bis tingkat yang super nyaman.

Nyaman? Well, kursinya, selimutnya, sandaran kakinya memang nyaman. TAPI, penumpang lainnya sama sekali bikin saya nggak nyaman. Berisik banget. Sebentar-bentar nyeletuk, ketawa, ngobrol dalam bahasa planet.

Gara-gara ini, saya cuma bisa tidur-tidur ayam. Padahal kan ini saatnya saya mengisi energi untuk berkeliling kota Hatyai.

Saya kesel banget deh sama segerombolan orang ini. Awalnya saya mengira mereka orang China atau Thailand. Tapi, ternyata orang Malaysia!!! Baah, pantesan nyebelin. Huh!!!

Udah berisik, sombong lagi. Sama sekali nggak mau bicara dalam bahasa Malaysia. Dari malam sampai tiba di Hatyai ngomong dengan sesamanya dalam Bahasa China. Nggak nasionalis banget sih!

Bis yang saya tumpangi singgah beberapa kali di tempat peristirahatan. Penumpang lain turun untuk pipis dan beli makanan, saya hanya menarik rapat selimut saya dan memanfaatkan kesunyian mobil untuk tidur instensif.

Diperhentian selanjutnya, saya ikut turun karena kebelet pipis. Selain pipis, saya beli susu kedelai seharga 2 RM.

Oh ya, di sini, kondektur mengumpulkan semua paspor kami. Tujuannya untuk dibuatkan kartu embarkasih atau kartu keterangan keluar ataupun masuk wilayah kedaulatan Malaysia. Baik banget deh, kartunya diketik, jadi kita nggak perlu ribet-ribet menuliskan pake tangan.

PS: Tapi pulpen harus wajib dibawa untuk yang mau traveling ke beberapa negara melalui jalan darat. Nggak di setiap tempat menyediakan jasa pengetikan kartu imigrasi. Kalau begini kan harus banget tulis tangan pakai pulpen. Catat!!!

Tidak jauh dari lokasi perhentian, kami tiba di gerbang Imigrasi Malaysia. Saat sampai di situ sekitar pukul 04.00, Gerbang Imigrasi belum dibuka. Terjadi antrian panjang bis-bis besar yang mau keluar wilayah Malaysia.

Sekitar jam 5, gerbang dibuka. Kami diturunkan dari bis dan mengantri lagi untuk melewati petugas imigrasi Malaysia.

Antriannya gila. Panjang bener.Cuma ada beberapa loket yang dibuka. Menyiksa apalagi buat saya yang kebelet poop. Begitu tiba giliran saya, tanpa babibu langsung deh saya serahkan paspor. Sorry nggak pake senyam-senyum ke petugasnya. Kebelet bok.

Anyway, petugas imigrasinya lucu. Kayak orang India gitu deh. Sempet curi-curi pandang walaupun pantat udah kembang-kempis ingin buang air.

Akhirnya, lolos imigrasi. Saya ijin ke toilet sebentar sama kondektur. Oh ya, toilet di imigrasi ini agak jorok dan nggak ada kuncinya.

Satu catatan lagi soal Imigrasi Malaysia di perbatasan: nggak ada Wifi. Beda banget sama Gerbang imigrasi Thailand yang wifinya secepat kilat.

Saat di Gerbang imigrasi Thailand ini saya manfaatkan wifi gratisan secara maksimal. cek email, facebook, twitter dan nyalain YM dan MSN.
Thailand 0 kilometer
Pas cek email, ternyata ada email dari Anggie. Pemberitahuan penundaan jadwal terbang Kuala Lumpur- Jakarta.

Sempet shock karena saya cuma baca sekilas. Saya langsung minta bantuan adik saya untuk hubungi AirAsia, konfirmasi mengenai hal ini.

Tapi, setelah dibaca dengan seksama ternyata penundaan hanya satu jam. Ya udahlah ya.. nggak masalah.

Setelas lolos imigrasi, saya jalan menuju bis. Salah satu dari genk berisik itu mendekati dan mengajak saya ngobrol.

"Where are you from?" tanya pria tersebut.

"Indonesia," jawab saya.

"Oh Indon. Alone?" tanya dia lagi. FAAAAAAKKKK.... saya benci banget dipanggil Indon oleh orang Malaysia. Kesannya pelecehan. Indonesia woi, bukan Indon.

"Yes," kata saya.

"Wow, You're very brave. Travel alone by yourself," kata dia lagi.

Si bapak-bapak berwajah Chinese itu lantas cerita-cerita ke temannya kalau saya orang Indonesia dan mau traveling sendirian ke Thailand. D'oh, biasa aja dong oom.

Tertipu

Welcome to Hatyai (dengan muka bingung). Saya diturunkan entah dimana. Nggak di Kampung Rambutan, nggak di Hatyai, begitu turun, saya langsung diserbu sama orang-orang yang kira-kira menawarkan angkutan.

Tapi nawarinnya dalam bahasa Thailand. Mana saya ngerti. Memang muka saya kayak orang Thailand ya?
Salah satu sudut kota Hatyai
Saya coba cari tahu dimana saya berada dengan tanya  ke kondektur. Kondekturnya nggak bantu sama sekali. Dia malah ngomong kalau ini perhentian terakhir busnya.

Hopeless, mau nggak mau harus terima salah satu tawaran orang-orang yang berjubel di depan pintu. Untung ada yang bisa berbahasa Inggris. Dikit-dikit sih. Saya bilang ke dia kalau saya mau ke Krabi. Dia langsung gandeng saya ke motornya dan ajak saya ke travel agent.

Di travel agent mereka menawarkan van ke Krabi seharaga 850 Bath. What?? Gila!! Mahal amat. Saya bilang saja kalau berdasarkan hasil googling saya di Internet harganya 200-300 Bath.

Eh, gara-gara ngomong itu, dia nyuruh saya beli tiketnya lewat internet. Toeng. Sial!!

Suka banget dengan Buddha hitam ini 
Si abang-abang itupun meninggalkan saya setelah mengetahui saya nggak mau ambil paket ke Krabi di travel agentnya. Nggak sopan. Nggak berperikemanusiaan!! Seenggaknya anterin saya kembali ke tempat tadi dong.

Tenang Iboy, tenang. Saya pun memutuskan untuk makan di rumah makan dekat situ. Sebenarnya nggak lapar sih, tapi sekalian tanya-tanya jalan sama orang di dalam restorannya.

Setelah makan, saya tanya-tanya soal objek pariwisata di Hatyai yang ingin saya kunjungi yaitu, Sleeping Buddha. 

Waks, ditanya inipun dia nggak tahu. Saking ributnya saya dan si Mba-mba sampai gerakin seluruh badan untuk memberitahu soal Sleeping Buddha atau Wat Hat Yai nai, seorang pria dari Thailand mendekati kami. Kebetulan dia bisa bahasa Inggris dan sama-sama sedang traveling di Hatyai.

Pria asal Bangkok ini menunjukan arah ke Sleeping Buddha dengan lengkap, mulai dari naik apa, turun dimana, harga angkotnya berapa. Lengkap.

Malah sampai dituliskan di buku saya. Tapi, kok tulilsannya dalam bahasa Thailand???? Sama aja boong, Mas. Mana saya bisa baca. Saya pun minta dia menuliskan arti Bahasa Thailand itu dalam tulisan latin.

Bukannya berangkat ke Sleeping Buddha, saya malah jalan-jalan menikmati kota Hatyai.

Puas berputar-putar kota Hatyai, saya mendekati tukang angkot khas Thailand. Saya cuma tinggal nunjukin tulisan tangan si Mas-mas di Resto. Si Abang langsung patok harga 100 Bath. Anjiiir, mehong.

"Far-far from here," kata si Abang.

Si Abang angkot ini malah nyaranin saya untuk naik ojek.Harganya 60 Bath. Baiklah, setelah saya konversi ke rupiah, 60 Bath itu setara dengan Rp18 ribu. Ambil aja deh.. daripada buang-buang waktu.

Abang Ojek pun segera melaju menuju Sleeping Buddha. Ternyata memang lumayan jauh. Ada sekitar 30 menit naik ojek. Sepanjang jalan saya melihat banyak patung Buddha dan Dewi Kwan In raksasa.

Nah, nggak jauh dari patung Buddha raksasa itulah saya diturunkan. Si tukang ojek nyuruh saya turun dan menunjuk ke arah dalam komplek tersebut.

Saya turun dan bayar ongkos ojek. Balik badan ke arah komplek tersebut saya mendapati plank besar bertuliskan Prince of Songkla University. Baaaah, kok saya sampai Songkla?? Seingat saya, Novi cerita kalau Songkla itu jauh dari Hatyai.

Curiga. Saya sepertinya berada di lokasi yang salah. Saya mencoba untuk tetap berpikir positif. Mungkin sleeping Buddha ada di dalam Universitas ini.

Tapi, setelah masuk nelusup sampai ke dalam-dalam Universitas. Nggak ada itu yang namanya Sleeping Buddha. Waaakkkss. Tanya ke petugasnya pun nggak ada yang ngerti. Doeng.. doeng.. doeng.. tertipu!! Lost in translation.

Kecewa. Saya melangkah gontai. Entah mau kemana? Ke lokasi awal, jauh. Ojeknya pun lumayan mahal. Saya menerawang ke langit biru Hatyai. Memandang sekeliling dan melihat patung Buddha raksasa.

Buddha yang mungkenye sumringah itu menularkan senyumannya ke saya. Ahaaa... ke sana aja deh. Nggak dapet liat Sleeping Buddha, paling nggak bisa lihat Giant Buddha.

Permasalahannya, dimanakah lokasi si Giant Buddha ini? Yang terlihat dari tempat saya berdiri hanyalah kepalanya. Saya tanya pakai bahasa tubuh. Nunjuk ke patung Buddha dan seseorang di jalan memberitahu pakai bahasa tubuh juga cara menuju lokasi itu.

Saya ikuti petunjuknya. Saya masuk ke sebuah tepat dimana di situ ada semacam patung Buddha kecil-kecil, kuil-kuil yang dihias. Lumayan, foto-foto sebentar lah di sini.

Nah, dari lokasi ini Giant Buddha mulai keliatan badannya. Itu tandanya tak jauh lagi saya bisa melihat keseluruhan tubuh Giant Buddha.

Selesai foto-foto, saya terus jalan menelusuri Giant Buddha. Yes, akhirnya saya masuk lokasi yang cukup ciamik. Patung Buddha emas seukuran manusia segambreng banyaknya berjejer di situ. Cakep buat di foto.

Saya terus masuk ke dalam melewati deretan patung Buddha emas yang kira-kira ada 100 jumlahnya. Makin ke dalam kok makin ngeri ya? Mendadak merasa serem dan merasa diliatin sama 200 mata?

Matiiiiiii!!!! Ternyata itu adalah makam! Kuburan. Di bawah patung Buddha itu ada foto orang yang dikuburkan di bawah patung Buddha itu. Creepy!!
Jejeran patung yang ternyata adalah kuburaaaaannn
Padahal, dari situ, Giant Buddha sudah terlihat dengkulnya yang disilangkan. Sedikit lagi saya bisa melihat ke seluruhan wujud Giant Buddha tersebut. Terpaksa balik kanan daripada digentayangin sampe Jakarta.

Jalan tidak jauh dari situ akhirnya saya mendapati wujud Giant Buddha secara utuh. Alhamdulillah. Ternyata si Giant Buddha itu merupakan lokasi Mahapanya Vidayalai Temple. (info dari Mas Fakhruddin. Tks mas).

Sepi banget. Kayak nggak ada pengunjungnya gitu. Yang saya dapati malah di salah satu gedungnya seperti ada upacara keagamaan. Karena saya nggak mau ganggu, akhirnya setelah puas foto si Giant Buddha, saya langsung cabut. Kembali ke depan Prince of Songkla University.
Akhirnya. Ini lhooo si Giant Buddha
Yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana caranya terminal. Untung di situ ada pos polisi. Saya pun bertanya. Dan dengan baik hati, Pak polisi membantu saya naik ke angkot yang benar menuju Hatyai-nai atau terminal bus Hatyai.

Saya dikasih tahu kalau ongkos dari sini ke Hatyai-nai hanyalah 10 Bath atau 3000 perak! AAAAAAaaakkkkkkk.. murah sekali. Masih mahalan ongkos Jagakarsa-Pasar Minggu yang Rp4000.

Daaaaan, saya pun tersadar, saya telah ditipu oleh tukang ojek. Harga yang ia patok sangat tinggi. Terlebih saya gagal mencapai tujuan yang saya inginkan.

Tiba di terminal bis Hatyai, lagi-lagi saya dirubung orang-orang yang nawari perjalanan ke kota lainnya di Thailand.

Saya memilih untuk menuju loket yang menjual tiket ke Krabi. Di situ saya mendapatkan tiket ke Krabi dengan bis AC seharga 218 Bath. Murahlah dibandingkan dengan harga minivan yang ditawarkan travel agent.

Selagi menunggu bis lepas landas, saya sempatin untuk mandi di toilet umum di terminal. Untungnya ada fasilitas mandi. Harganya 10 Bath. Biasa puas mandi di pancuran.

Segar banget habis mandi dan berganti pakaian. Karena menuju pantai.. saya pun berganti kostum pakai kaos dan celana pendek. Deeeuuuh, gayanya udah bak backpacker beneran deh..

Sekitar jam 12.30, bis terisi penuh dan mulai berjalan menuju Krabi. Perjalanan Hatyai- Krabi kira-kira lima jam. Siap-siap pantat tepos nih.

Comments

  1. saya ingin sharing mengenai trip anda, berdasarkan photo giant budha yang anda ambil, itu merupakan lokasi Mahapanya Vidayalai temple. Ini merupakan sejenis college yang mempelajari agama budha (ada pagoda, monk statues dsb). Lokasinya memang dekat dengan Prince Songkhla University (masih di dalam kota), sementara kalau yang anda maksud the sleeping budha itu bahasa Thai nya adalah Wat Hat Yai nai, arahnya bertolak belakang ke arah barat pinggiran kota hat yai sekitar 1,5 km dari kota hat yai. Ini merupakan kompleks kuil ibadah agama Budha. Sementara kalau yang anda maksud yang ada patung budha di bukit lengkap dengan patung dewi kwan im itu masuk dalam kompleks Hat Yai Municipal Park (merupakan taman wisata kota) jaraknya lumayan jauh 2 km dari pusat kota ke arah utara (mesti naik tuk tuk atau ojek). Demikian sedikit sharing saya

    ReplyDelete
  2. mas Fakhruddin makasih perbaikannya... hihi sudah saya perbaiki kesalahan info di blog saya ini. Makasih banyak ya massss... :)

    ReplyDelete

Post a Comment