Kepada Jokowi

Akhirnya Jakarta punya gubernur baru. Joko Widodo. Waktu Pemilu Gubernur September lalu, saya pilih dia (sementara saat putaran pertama saya pilih Faisal Basri-Biem). Kenapa dia? Ya karena saya sudah muak dengan calon lainnya. Kalau Fauzi Bowo (Foke) lagi yang menangani Jakarta, ya Jakarta akan sama saja seperti sekarang. Mungkin akan semakin macet, atau menurut perkiraan 2014 nanti, Jakarta bakal macet total.

Jokowi diharapkan bisa membawa perubahan. Kalau melihat cara dia membenahi kota Surakarta (Solo), saya sih yakin, dia mampu untuk membereskan Jakarta. Apalagi berduet dengan Basuki Tjahja Purnama (atau Ahok) yang juga masuk dalam golongan pemimpin sukses bangun daerahnya.

pic from here
Sabtu lalu, saya berkumpul dengan kawan lama saya di Koran Jakarta dulu. Mas Teguh, Kristian dan Mas Agus. Obrolan kami salah satunya adalah soal Jakarta Baru ditangan Jokowi dan Ahok. Mas Teguh menceritakan akun di youtube yang diasuh oleh Humas Pemerintah provinsi DKI Jakarta yang memunggah kegiatan Ahok di  kantornya. Ahok bercengkrama dengan PNS Pemprov DKI sembari mengusulkan ide-ide  yang menurut saya brilian (entah bagaimana realisasinya nanti). Salah satunya adanya ID PNS yang terintegrasi dengan akun bank. ID ini nantinya sekaligus bisa berfungsi sebagai alat pembayaran kereta, TransJakarta dan sebagainya. Ya itu salah satunya. Semoga nggak cuma anget-anget tai ayam ya. Di awal rajin, nanti ke belakangnya sama melempemnya dengan Foke. Semoga tidak. Sekali lagi. Semoga tidak. 

Nah, sekarang saya mau mengeluhkan soal Jakarta sekaligus memberikan masukan buat Jokowi dan Ahok. Terutama soal TransJakarta. Saya kesal sampai ke ubun-ubun kalau sudah membicarakan angkutan massal andalan saya ini. Nggak pernah saya nggak mengeluh soal pelayanan TransJakarta. Setiap harinya selalu mengecewakan. 

TransJakarta adalah angkutan terbaik di antara yang terburuk. Saya terpaksa menggantungkan perjalanan saya kepada TransJakarta dibandingkan metromini atau kopaja. Saya nggak tahan terjebak macet dalam waktu yang cukup lama. TransJakarta dengan jalur khususnya tidak akan terjebak macet (kadang suka kena macet juga gara-gara jalurnya diserobot mobil pribadi dan motor). 

Setiap hari saya selalu mengandalkan TransJakarta untuk mencapai kantor KPK. Biasanya saya berangkat jam 08.00 (kalau ngajar saya berangkat jam 06.30) WIB dari rumah. Butuh 15 menit untuk sampai ke shelter Departemen Pertanian. Di situ saya dihadapkan dengan antrian panjang manusia. Beruntung saya memiliki JakCard, jadi saya nggak perlu menunggu sekian lama mengantri membeli tiket. 

pic from here
Nah, jika sudah masuk ke shelter, saya harus kembali menunggu antrian untuk masuk ke dalam bus. Kalau antrian panjang, ya bisa setengam jam kemudian terangkut. Yang menyebalkan pada saat menunggu bus adalah suasana pengap dan panas shelter. Padahal beberapa sudut shelter ada kipas angin. Tapi kayaknya cuma dijadikan pajangan, mangkrak dan sekarang sudah berkarat. Harusnya difungsikan dong manakala penumpang menunggu dalam keadaan kepanasan dan keringatan. Seingat saya cuma beberapa shelter yang masih memfungsikan kipas angin (kebanyakan shelter untuk transit).

Nggak cuma fisik yang kepanasan, hati juga ikut terbakar amarah, ketika melihat satu.. dua.. tiga bus melintas begitu saja tanpa berhenti untuk mengangkut penumpang yang sudah berjubel. FCUK!! Maksusdnya apa?? Mau isi BBG (Bahan Bakar Gas)? Kan bisa toh disambi dengan angkut penumpang?? Toh, lokasi pengisian BBG satu jalur dengan rute koridor enam. Rasanya kalau ada bus yang nggak angkut penumpang itu pengen lempar batu bata atau bom atau dinamit atau granat. Nggak tahu ya betapa pegelnya menunggu bus?

Satu bus akhirnya tiba. Tapiiii.... isinya sudah penuh dari shelter Ragunan. Paling banter yang terangkut hanya lima orang. Nunggu lagi deh. Kalau beruntung, bakal ada bus kosong yang hanya mengangkut penumpang di shelter Departemen Pertanian. Tapi jarang-jarang sih. 

Beberapa penumpang suka mempertanyakan mengapa busnya sedikit, lama dan kadang nggak mau angkut penumpang. Ada yang tanya baik-baik, ada juga yang sambil sewot marah-marah. Kalau saya memilih diam. Ya iyalah, saya sih sudah tahu penyebabnya kenapa. Dan juga kasihan dengan si kondektur yang jadi objek kekesalan penumpang. Padahal kan dia nggak tahu apa-apa. Tugas dia cuma jagain pintu dan memastikan penumpang naik turun bus dengan selamat. Kebijakan soal bus ini BBG, bus ini angkut dari shelter A itu ada ditangan operator bus. 

Saya, keseringannya berdiri. Kadang suka maksa masuk ke bus yang sudah dalam keadaan penuh. Mau gimana lagi? Mau sampai kapan menunggu? Apalagi kalau ada liputan yang haram hukumnya telat. Pokoknya harus terangkut sesegera mungkin. 

Setelah berhasil terangkut, cobaan buat saya ternyata belum berakhir kawan. Saya harus dihadapkan dengan situasi pengap dan panas dalam bus. Perasaan saya bus TransJakarta itu berpendingin udara kan ya? Kok panas. Oalaaah, ternyata pendingin udara di-setting dengan temperatur antara 27-31 derajat celcius. Ya gimana nggak panas!! Suhunya segitu! Makin aneh, kalau malam pendingin udara diatur sedingin mungkin. Maksudnya apaaaaa?? Miris.

Ya bayangin saja, di bus yang berpendingin udara saya malah keringetan. Dan sepanjang perjalanan dari Departemen Pertanian ke shelter depan KPK (Setia Budi Utara Aini) saya terus deh kipas-kipas pakai kipas andalan saya. Dari rumah sudah cakep, sudah wangi, eh, gara-gara TransJakarta jadi kemringet dan bedak luntur. Ngok!

Nah, sama juga kalau pulang dengan TransJakarta. Nunggunya lama, penuh dan dingin. Makanya saya lebih suka pulang malam di atas jam sembilan manakala bus sudah dalam keadaan sepi. 

Keluhan saya lainnya adalah soal  JakCard yang ternyata tidak aplikatif di semua shelter. Cuk! JakCard cuma bisa digunakan di koridor enam. Koridor lainnya masih menggunakan tiket kertas. Dan saya harus membeli tiket baru, padahal seharusnya pembayaran bisa memakai JakCard. Tapi ya, penjual tiket berkilah: jaringan sedang rusak mba. Yeah.. whatever!!

Lalu, soal monitor semacam GPS (Global Positioning System) yang mendadak menghilang dari hampir semua shelter di koridor enam. Padahal itu berguna banget lho untuk memperkirakan berapa lama kami harus meunggu bus tiba di shelter. Kami, penumpang butuh kepastian (sama kayak pacaran, butuh kepastian status. Krikik!) kapan bus akan tiba. Dulu, waktu monitor ini masih ada, kami bisa mikir-mikir; oh, busnya bentar lagi datang, merapatlah ke antrian. 

Sekarang, hanya koridor satu (Blok M-Kota) yang masih menggunakan monitor tersebut. Tapi ya kadang-kadang jauh dari akurat. Tertulis dalam lima menit bus sampai ke shelter A, tapi nyatanya nggak ada satu bus pun yang lewat. 

Oh ya, ini juga penting. Pegangan untuk penumpang berdiri banyak yang copot. Kasihan penumpang-penumpang berukuran badan kecil, yang tidak mampu mencapai besi untuk berpegangan. Kemudian juga pendingin udara yang suka bocor dan bikin kursi basah. Semakin parah kalau hujan, banjir lho di dalam bus. 

Saya berharap sekali Jokowi bisa mengatasi permasalahan yang saya ceritakan panjang lebar di atas. TransJakarta dibuat melaju lebih frekuentif sehingga semakin membuat nyaman penumpang. Apa-apa saja yang sudah rusak di bus diperbaiki. Kipas angin di shelter dinyalakan, monitor pemantau keberadaan bus segera difungsikan kembali. Dan tak lupa, JakCard bisa digunakan diseluruh shelter. 

Jokowi kan lagi rajin sidak nih. Sekarang saatnya operator TransJakarta disidak. Lihat betapa kurang baiknya pelayanan jasa angkutan massal ini.

Saya sebenarnya sudah koar-koar ini ke Jokowi (@Jokowi_do2) dengan mention ke akun twitternya. Mas Imron (@ImronRosyid), warga Solo yang kenal baik dengan Jokowi bilang masalah ini mungkin bisa terselesaikan di tahun 2013. Yes, saya nggak sabar menunggu gebrakan Jokowi. Nggak sabar merasakan bus TransJakarta yang nyaman. Kalau bus TransJakarta nyaman kan semakin banyak pemilik kendaraan pribadi yang akan beralih menggunakan angkutan massal. Macet insyaallah bisa teratasi deh. 

Satu lagi, Pak Jokowi yang terhormat, nanti nggak usah ya mukanya mejeng di billboard seperti yang dilakukan Foke dulu. Ada acara apa golf atau sejenisnya, nggak usah lah ya mukanya dipajang segede gaban di billboard-billboard Jakarta. Waktu saya ke Solo bulan lalu, kayaknya saya nggak menemukan satu billboard pun yang memampang muka bapak. Nggak usah ya Pak. Ngabisin anggaran saja. Lebih baik anggaran "mejeng" dialokasikan untuk pembangunan dan kepentingan warga Jakarta. 


Selamat bekerja Pak Jokowi dan Pak Ahok!
Saya tunggu hasil kerja kalian berdua ya.....

Comments