Kulari Ke Pantai Kemudian.....

Kulari ke pantai, kemudian senang hatiku....

Hari minggu lalu, saya dan tiga orang teman liputan saya, yaitu Novi, Ika dan Vitri nekat nyebrang lautan. Kami mau mengasih selama beberapa jam dari Jakarta. Tujuan kami sebenarnya adalah Pulau Pari. Tapi karena kami ketinggalan kapal ke Pulau Pari, kami putuskan untuk merapat ke Pulau Tidung.

Sebelumnya saya sudah pernah ke Tidung bersama Anda dan Hanna bulan Juni lalu. Namun tak masalah untuk kembali ke Tidung. Toh tujuan utama kami adalah untuk refreshing sejenak dari kepadatan pekerjaan kami.
Bak poster film. (foto milik Vitri)
Sebelum berlayar, kami mengisi amunisi dengan memakan Pop Mie. Tujuannya agar kami tidak muntah manakal terombang-ambing di lautan luas. Dan di sinilah muncul candaan garing soal air asin. Pop Mie yang kami makan terasa lebih asin gara-gara air panas yang digunakan untuk menyeduh berasal dari air laut. Demikian juga dengan kopi milik Vitri yang kami candai berubah menjadi gurih karena dicampur air laut.

Untuk menuju Tidung, dibutuhkan waktu dua jam. Satu jam pertama, atau sesaat sebelum kapal berlabuh di Pulau Untung Jawa, kami duduk anteng di dalam kapal. Nah, dari Untung Jawa, Ika mengajak kami naik ke atas kapal.

Ternyata di atap kapal jauh menyenangkan dibandingkan di dalam. Guncangan di atas kapan tidak terlalu terasa. Yang paling menyenangkan sih karena sensasi belaian angin laut yang mengacak-acak rambut dan pemandangan lautan biru. Kami manfaatkan momen ini dengan berfoto-foto.
Foto milik Vitri
Sekitar pukul 11.00 WIB, kapal merapat di Pulau Tidung. Sebelum menjelajah pulau ini, kami mencari informasi kapal pulang menuju Muara Angke. Saya tidak bisa bermalam karena Senin pagi saya harus mengajar Julio dan Pallavi.

Dari tempat penjualan tiket, kami diinformasikan jika kapal Kerapu menuju Muara Angke tersedia pukul 14.00 WIB. Sementara penjualan tiket dibuka mulai pukul 13.30 WIB. Dengan demikian kami hanya mempunyai waktu dua setengah jam untuk berkeliling Tidung.

Setelah mendapatkan info kapal pulang, kami menyewa sepeda. Ika berhasil merayu Ibu pemilik sepeda untuk menurunkan harga sewa dari Rp15 ribu menjadi Rp10 ribu. Harga diturunkan karena kami hanya akan menggunakan sepeda ini selama kurang lebih dua jam.

Baru sekitar lima meter menggoes sepeda, Ika mengajak kami makan di sebuah warung yang tak jauh dari dermaga. Kami makan ala kadarnya di warung tersebut selama 30 menit. Kami harus bergegas jika ingin punya waktu lebih lama berleha-leha di pantai.


Makan selesai, kami segera menuju pantai dimana terdapat jembatan cinta yang terkenal itu. Kami pilih satu bagian pantai yang terlalu ramai, untuk selanjutnya cipak-cipuk di pinggir pantai.

Saya berganti kostum yang sudah saya siapkan untuk basah-basahan. Sementara Novi dan Vitri sudah asyik bermain di dalam air. Ika? Nah, kalau Ika bukannya sibuk ganti baju atau main air, dia malah mengupas mangga. Jadi, dalam perjalanan menuju pantai, Ika menjumpai seorang Ibu tua penjual mangga. Karena kasihan, ia membeli mangga tersebut. Tapi dari empat mangga, hanya dua yang layak dimakan.

Di bibir pantai, kami hanya tidur-tiduran sembari mengobrol. Badan kami benamkan dalam air laut. Kaki menguncang-uncang dan sesekali saling mencipratkan air laut nan asin. Saat sedang asyik-asyik membicarakan trip-trip impian dan trip yang mungkin bisa dilakukan dalam waktu dekat, tiba-tiba saya disengat oleh ubur-ubur.


Makhluk laut transparan dengan tentakel warna ungu itu beberapa kali menyengat bagian tubuh saya. Yang paling menyakitkan adalah sengatan di punggung saya. Sakit sekali. Sampai saya bikin heboh ketiga orang teman saya ini.

Ternyata bukan saya saja yang menjadi korban sengatan ubur-ubur. Novi tangannya juga digigit oleh si ubur-ubur. Kami berdua diserang ubur-ubur mungkin dikarenakan kami pipis di tempat hidup mereka.

Pukul 13.00 WIB, kami mengebut kembali ke dermaga untuk membeli tiket. Sayang, begitu tiba, tiket sudah habis. Kami disarankan untuk membeli kapal kayu. Jam berangkatnya sama, yaitu pukul 14.00 WIB. Selain itu tiketnya lebih murah, hanya Rp33 ribu saja.

Karena masih punya sekitar 30 menit, kami memutuskan untuk membersihkan diri dari air laut. Kami menyewa dua kamar mandi. Satu kamar digunakan oleh saya dan Vitri sementara kamar mandi lainnya digunakan oleh Novi dan Ika.

Saya dan Novi menjadi orang pertama yang selesai mandi. Saya pergi ke dermaga untuk mnegecek apakah kapal kami sudah tiba. Si penjual tiket mengatakan kami dicari-cari karena kapal sudah mau berangkat. Saya segera memberitahu tiga orang teman saya untuk bergegas.

Tapi, setelah kami tiba dermaga, kami malah ditelantarkan. Tidak jelas apakah kapal ada atau tidak. Saya panik karena khawatir terpaksa menginap di Tidung. Tapi setelah menunggu dan dicarikan solusi, kami akhirnya mendapatkan kapal kembali menuju Jakarta.


Kapal kayu seharga Rp30 ribu per orang. Kami mendapatkan tempat duduk di bagian dalam kapal, tepat di atas mesin. Pukul 14.00 WIB, kapal meninggalkan dermaga. Perjalanan menuju Jakarta tidak akan seperti perjalanan awal yang hanya dua jam. Perjalanan pulang ini memakan waktu hingga empat jam. Rrr... bayangkan, empat jam di dalam kapal kayu sempit. Beruntungnya, saya dan Ika duduk di bagian yang tidak panas gara-gara mesin. Sementara Novi dan  Vitri terpaksa mengungsi keluar kapal karena kepanasan.

Gara-gara Novi dan Vitri duduk di luar, saya dan Ika jadi leluasa untuk merebahkan badan. Tak masalah kaki kami kepanasan. Yang terpenting kami bisa mengistrirahatkan badan. Dalam perjanalan menuju Jakarta, hujan turun.

Saya benar-benar menikmati suasana ini. Tiduran dengan pemandangan langit biru, belaian angin laut dan ciuman sporadis dari rintik hujan. Sempurna! Minggu sore yang membahagiakan. Priceless.

Akhirnya pada pukul 18.00 WIB, kami tiba di Muara Angke. Dengan mengendarai odong-odong, kami menuju Stasiun Kota untuk selanjuutnya pulang ke rumah masing-masing.

Sepuluh jam melarikan diri dari Jakarta. Pikiran saya segar, perasaan senang namun tubuh saya lelah tak keruan.

Comments