Lagi-Lagi Pengamen Mabok

Saya  muak dengan makin banyaknya pengamen atau tukang minta-minta yang berdandan ala preman. Sebenarnya saya ingin menyebut mereka sebagai anak punk. Tapi di twitter saya pernah diprotes dan dinilai mengeneralisir.

Hari ini saya kembali mengalami kejadian buruk dengan pengamen yang biasanya mengenakan seragam (baju kaos, jins dan sepatu) serba hitam itu.

Pulang dari Kemang saya naik mokrolet M 36 jurusan Pasar Minggu- Jagakarsa. Karena kursi sebelah supir kosong saya putuskan untuk duduk di situ. Tak berapa lama kemudian seorang bapak naik. Dia memaksa duduk di depan. Padahal kursi belakang masih ada yang kosong. Lalu si bapak lumayan gendut sehingga membuat posisi duduk saya tak nyaman.

Si bapak rupanya kawan si supir. Mereka asyik ngobrol dalam bahasa Sunda. Jarang-jarang nih ada supir orang Sunda. Biasanya kalau nggak Batak, Padang atau dari daerah Ibu saya, Purwokerto, Tegal dan sekitarnya.

Di pertigaan jalan Paso, dua orang pengamen memaksa naik. Dari raut wajah si supir nampaknya dia tidak senang dengan kehadiran dua pria yang umurnya berkisar 17-18 tahun. Tapi supir tidak ada pilihan. Dua pemuda itu mulai mengamen dengan cara yang mengintimidasi.

Karena duduk di depan, saya tak terlalu memperhatikan penampilan keduanya. Sekelebat saya hanya bisa melihat mereka mengenakan atribut serba hitam. Satu pemuda tampak memegang sekantong kerupuk kulit. Begitu mereka masuk ke dalam bis, menyeruak bau alcohol. Mereka mabuk.

Dari kursi depan, saya bisa mendengar prakata mereka sebelum mulai menyanyi. Permisi. Numpang ngamen. Mumpung baru gajian pasti ada recehan berapa kek yang bisa disumbangkan ke kami, kata salah satu pengamen.  Mereka mulai menyanyi lagu yang asing di telinga saya. Mungkin itu lagu hasil ciptaan mereka sendiri.

Saat angkot berhenti dan menurunkan penumpang, otomatis dua pengamen tersebut harus turun. Saat penumpang sudah turun dan supir bersiap tancap gas, salah satu pengamen gagal berpijak di pintu masuk bus. Mungkin karena mabuk, genggaman tangannya lemah sekaligus keseimbangannya berkuran. Dia tersungkur di aspal. Supir menghentikan mobilnya.

Satu preman marah-marah kepada supir. Dia menyalahkan si supir yang terlalu kencan mengendari mobil. Si bapak gembul tak terima kawannya dicaci maki oleh pemuda mabuk tersebut. Dia angkat bicara dan mengatakan supir mengendarai mobil dalam kecepatan normal. Saya setuju tapi memilih diam.

Pengamen berang. Sekarang giliran bapak gembul diteriaki dan memintanya tak membela ataupun berkomentar. Si bapak tak terima. Meman si pengamen yang salah. Pengamen naik pitam, dia mengeluarkan besi bergerigi dari dalam kaosnya. Diacung-acungkannya gerigi tersebut ke wajah si supir dan si bapak gembul. Aaaahh.. mati gw! Berada di tengah-tengah situasi begini. Bisa-bisa si gerigi melayang ke muka saya. Ya Allah, takut banget!

"Lo mau beratem? Sini lo turun, gue ladenin," tantang si preman.
"Di depan," si supir super cool. Dia sama sekali nggak terpancing emosinya meski bahaya sudah di depan mata. Dengan tenang dia memajukan mobil. Si pengamen berjalan mengikuti.

Sejenak mobil berhenti, lalu... tancap gas meninggalkan si pengamen. Merasa ditipu, pengamen berlari sekuat tenaga mengejar mobil. Akan tetapi tak berhasil. Dari kaca spion saya melihat si pengamen mencoba nebeng angkutan umum lainnya untuk mengejar mobil kami. Untung, posisi kami sudah terlalu jauh. Si pengamen tak lagi tampak.

"Gitu deh mba. Saya sebenarnya nggak mau ngijinin mereka ngameng. Tapi mba lihat sendiri mereka kelakukannya kayak gimana," si supir curhat.

Gimana ya caranya menghilangkan atau paling tidak menertibkan pengamen semacam itu. Kehadiran mereka itu sangat mengganggu penumpang. Apalagi kalau dalam keadaan mabok. Mereka tidak hanya membahayakan penumpang tapi juga diri mereka sendiri. Tadi itu ya contohnya.

Pak Jokowi, Pak Ahok, ayo dong buat regulasi untuk masalah ini. Kalau sudah ada regulasi, ya dijalankan.

Atau jangan-jangan banyaknya pengamen, anak jalan dan sejenisnya itu gara-gara salah tafsir pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa fakir dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Nah, kata DIPELIHARA ini diartikan dibiarkan tetap jadi fakir, tetap jadi anak terlantar, tetap bermain di jalanan.

Comments

  1. wow, ngeri banget... besi gerigi nya itu apa? gergaji kah?

    ReplyDelete
  2. bener ka, aku juga suka risih sama sikap mereka yang suka memonopoli keadaan kalau diangkutan umum. Berasa anaknya presiden kali ya mereka -_-

    ReplyDelete

Post a Comment