T(j)in(t)ja

Bukan cinta. Jangan berharap saya berbicara tentang cinta di postingan ini. Judul di atas sengaja saya tulis demikian, untuk mengurangi rasa geuluh. Sesungguhnya yang ingin bagi di sini adalah kisah tinja.

Saya selalu mengalami kejadian tidak menyenangkan dengan tinja. Ya tentu selalu tidak menyenangkan. Mana ada pengalaman yang membahagiakan terkait tinja.

Sebelum lanjut membaca, mohon diperhatikan jika cerita berikut mengandung hal-hal yang dinilai menjijikan.

Kali ini, kisah bermula dari sebuah kabar bahagia. Semua saksi yang diperiksa KPK sudah pulang. Saya pun sudah merampungkan seluruh kewajiban saya.

Pukul 18.15 WIB saya memutuskan untuk pulang. Sebelum pulang, saya selalu menyempatkan diri ke toilet untuk pipis dan merasakan apakah sepanjang satu jam perjalanan nanti tidak akan ada gejolak di perut.

Tak butuh waktu lama, saya sudah terangkut oleh busway. Tak apa berdiri, yang penting bisa cepat sampai rumah. Saya berdiri di pinggir di depan kursi prioritas. Tepat di bawah AC yang menghembus bak orang yang tengah sekarat.

Di setiap halte, kondektur memasukan dua hingga empat orang ke dalam bus. Saya semakin terdesak untuk bergeser. Namun saya kekeh tetap mau berdiri di bawah AC.

Di halte GOR Soemantri, saya merasakan perut saya mulai mulas. Saya mencoba tenang. Tidak memikirkan gejolak di perut dan memilih membayangkan hal menyenangkan. Konon, dalam kondisi kebelet BAB, kemudian kita terus merasakan itu, maka akan mempercepat proses pengeluaran tinja. Sebaliknya, apabila tidak dipikirkan, atau memikirkan hal lain maka rasa kebeleet itu bisa hilang sementara.

Alhamdulillah cara itu berhasil. Mulas menghilang. Namun kemudian muncul lagi. Kali ini lebih parah. Sudah menjalar hingga dubur. Kaki saya lemas, bulu kuduk berdiri, keringat deras mengucur.

Posisi saya di bawah AC justru memperparah keadaan. Saya semakin terdesak untuk segera mengeluarkan ampas-ampas makanan saya sepagi, siang dan sore tadi.

Oke. Tak mungkin melanjutkan perjalanan hingga halte Departemen Pertanian. Saya harus turun dan mencarii toilet.

Saat itu, busway sudah berada dekat Kedutaan Besar Singapura. Saya harus turun di halte Kuningan Timur. Saya menimbang-nimbang, kira-kira kantor apa yang bersedia toiletnya saya gunakan.

Pilihan mengerucut pada ke Kedutaan Besar Belanda, Kejaksaan Tinggi Jakarta Selatan, Balai Kartini dan kantor saya.

Kalau ke Kedutaan Besar Belanda, insyaallah diizinkan. Saya bisa bilang ke satpam (yang kayaknya mengenal saya) bahwa saya ada janji bertemu teman.

Di Kejaksaan Tinggi, saya bisa langsung jujur mengutarakan ingin buang air besar. Tinggal tunjukan ID Pers saja. Kalau di Balai Kartini, saya juga tinggal jujur ke satpam.

Setelah membuat skenario pembuangan tinja, akhirnya pilihan jatuh ke Balai Kartini. Ini lokasi paling dekat.

Setibanya di halte Kuningan Timur, saya menerabas kerumunan penumpang dan langsung lari terbirit-birit. Saya berlari dengan tangan yang tak berhenti meremas pantat. Berharap dengan cara begitu si tinja bisa tertahan.

Mendekati Balai Kartini, rasa kebelet semakin tak terkontrol. Saya bisa merasakan saluran pembuangan sudah memuai. Tahan, tahan, tak berapa lama lagi kau kukeluarkan!

Di Balai Kartini saya disambut seorang pria. Entah apakah dia petugas keamanan atau hanya peserta beberapa acara yang berlangsung di situ.

Langkah saya pelankan. Berjalan dengan kecepatan normal saat bertemu si pria. Saya lempar senyum. Begitu melewati si pria, saya lari tunggang langgang menuju toilet. Untung saya tahu persis dimana lokasi toilet di Balai Kartini.

Bertahanlah, saya sudah dekat. Keluarlah manakala saya sudah terduduk di toilet.

Pintu toilet wanita sudah saya masuki dan saya tinggal memilih satu di antara lima pintu di dalam toilet. Tak ada waktu untuk berpikir, saya langsung cari yang memiliki engsel berwarna hijau, yang menandakan toilet tak berpenghuni.

Secepat kilat saya mengunci pintu, melepas tas, meletakannya di lantai dan langsung melucuti jeans dan celana dalam (saya sampai tidak ada waktu untuk mengalasi dudukan toilet dengan tisu. Semoga pantat sebelumnya tidak berpenyakit).

Br*************t!!!!!!

Aaaahhh, leganya. Semua yang mengganjal tadi dikeluarkan. Saya agak lama di dalam toilet. Memastikan tak akan terulang kejadian semacam ini dalam perjalanan Kuningan- Jagakarsa.

Akhirnya, rasa kebelet itu, rasa mulas itu tak ada lagi. Saya beberes dan bergegas meninggalkan toilet Balai Kartini. Kali ini, saya bisa tersenyum dan berjalan santai menuju destinasi berikutnya.

Ini bukan kali pertama. Sebelumnya, saya pernah mengalami kejadian serupa. Kebelet BAB dalam perjalanan pulang. Kala itu, saya menumpang buang hajat di kantor Departemen Pertanian.

Sekian kisah saya dengan cinta, eh tinja! Maaf kalau menimbulkan rasa jijik, enek dan tak nafsu makan setelah membacanya.

Salam cinta dari saya

:*
best regards,

Rizky Amelia

Comments