"Maaf, Perahunya Sudah Berangkat!"

Halooooo..... saya kembali. Duh, maafkan saya yang nggak rutin menulis di sini. Saking setiap hari harus ngetik berita, saya jadi malas untuk cerita-cerita di blog. Kayaknya nggak sanggup, seharian sudah menulis beberapa belas berita, lalu harus menulis lagi di hal-hal lain untuk blog ini? Arrrgghhh... mabok.
secuil pemandangan Gili Meno
Nah, baru sekarang saya punya waktu. Sembari menunggu Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah selesai diperiksa KPK, ada baiknya saya menuntaskan hutang cerita perjalanan saya di Lombok. Agak sulit ya memanggil kenangan di Lombok karna kejadiannya sudah lebih dari tiga bulan lalu. Fuiiihhh.. tapi saya akan mencoba. Demi kalian, pembaca setia blog ini (situ famous, Boy?)

Posting blog terakhir saya soal Lombok adalah pengalaman saya nakan Mie Sedap seharga Rp50 ribu. Awww... masih nyesek kalau ingat hal itu. Ya sudahlah yaaa...  lanjut!

Jadi, keesokan harinya, saya putuskan untuk Island Hoping alias jalan-jalan (pakai perahu ya, bukan jalan kaki) muterin Gili Air dan Gili Meno. Dengan Rp50 ribu kita diantar ke dua pulau tetangganya Gili Trawangan. Seingat saya, Island Hoping hari itu nggak ke dua gili itu. Cuma Gili Meno. 

Meno, dibandingkan dua gili lainnya cenderung lebih tenang. Cocok banget buat yang mau meratap, menyepi dan merenungi kehidupan. Hahaha... buat liburan juga asyik kok. Gili Meno nggak penuh sesak dibandingkan Trawangan, yang setiap sudutnya ada penginapan. Di Meno, jumlah penginapan bisa dihitung dengan jari. Dengan sedikitnya jumlah penginapan, maka porsi lahan hijau dan pinggiran pantainya masih banyak. 

Nggak usah khawatir, takut-takut kalau mau goleran (tidur-tiduran) di pinggir pantai di Gili Meno. Karena pantainya nggak dimiliki oleh penginapan atau restoran. Memang beda banget seperti di Trawangan, yang 85 persen pantainya sudah dikavling-kavling oleh restoran dan hotel. Jadi kita harus bayar untuk bersantai di pantai.

Sebagai pengembara tunggal, saya sok asyik ngobrol-ngobrol sama orang lokal. Biar nggak kelihatan kesepian gitu. Di sebuah kafe yang saya lupa namanya (saya memilih bersantai di bale-bale kafe karena mataharinya luar biasa menyengat), saya bertemu dengan pelayan yang namanya pun saya lupa. Dia ternyata orang Jakarta. Supir angkutan umum di Kampung Rambutan. Ia hijrah ke Gili Meno karena memang orang Lombok dan nggak kuat dengan kerasnya kehidupan di Jakarta (kan..kan..kan.. Meno emang juara buat cari ketenangan). 

Bebebapa orang lokal lain pun ikut ninbrung. Pelayan kafe itu dan penjual gelang. Obrolannya kali ini soal mahalnya buka usaha di Gili. Makanya hotel, resort dan sejenisnya itu mayoritas kepemilikannnya oleh orang asing. Bahkan di Meno, ada Bird Park milik orang Australia. Saya sempat diantar ke Bird Park tersebut. Cuma batal masuk gara-gara tiket masuknya Rp65 ribu. Ahhh.. mahaaal. Saya ke Meno bukan mau lihat burung. Kalau mau lihat burung ke Ragunan saja. Dekat rumah dan tiket nggak lebih dari Rp10 ribu. 

Berkat sok asik itu, saya sekarang punya private guide di Meno, yang tak lain adalah tukang gelang. Padahal ya, saya nggak beli satupun gelang dia, tapi dia dengan senang hati mengajak saya berkeliling. Maafkan saya lupa nama guide saya itu, dia mengantar saya ke danau yang katanya bagus. Tapi, pas sampai lokasi... ya tuhan cuma danau yang airnya hijau.
kayak di Afrika kan??
Namun sepanjang perjalanan menuju danau itu indah banget. Bak savana di Afrika. Hamparan luas rerumputan hijau, pohon kelapa, sapi dan kambing yang dibiarkan berkeliaran. Cakep deh. Setidaknya kekecewaan akan danau hijau terbayang dengan pemandangan itu. Mari mengucap Alhamdulillah

Bonus saat berada Meno adalah bisa menyaksikan beberapa pria coklat legam (pakai sunblock dong biar nggak hideng masnya) berselancar. Seruuuuu banget melihat mereka membaca gelombang air, menguasai dan kemudian menunggangi ombak.

Saat pulang saya hampir saja ketinggalan boat. Soalnya meeting point mendadak berubah. Tidak di dermaga, namun di pantai bagian barat.

Jadi begini, saat tiba di Meno, perahu tidak merapat di dermaga karena ombak yang terlalu besar. Kami pun diturunkan di pantai barat. Dimana, untuk mencapai pusat kehidupan di Meno harus berjalan kaki kurang lebih setengah jam. Sebelum penumpang menyebar, kami diinformasikan bahwa perahu akan mengangkut melalui dermaga jam empat.

Ternyata, saat pulang, perahu tetap tidak bisa menepi di dermaga. Alhasil, kami harus kembali ke pantai bagian barat. Ada angkutan berupa dokar atau oleh orang lokal disebut Cidoma. Tapi harga sewanya gila-gilaan. Rp85 ribu aja sekali jalan. Pfffh.. saya bimbang. Jalan kaki dengan resiko ketinggalan perahu atau naik cidoma dan merelakan Rp85 ribu?

Dengan pertimbangan cukup matang saya akhirnya memilih jalan kaki. Lagi-lagi dibantu orang lokal yang menunjukan jalan pintas menuju pantai bagian barat. Beberapa anak kecil juga dengan senang hati menuntut saya menuju pantai barat. Sepanjang perjalanan ini, saya bertemu penumpang perahu yang juga tergesa takut ditinggal.

Setibanya di pantai barat, saya tidak melihat perahu. Seorang bapak menyampaikan bahwa perahu sudah berlayar beberapa saat lalu. Saya panik. Namun, si bapak nggak tega lihat saya. Ia mengaku bahwa perahu belum datang karna masih berada di Gili Air. Fyuuuuhhhh... selamaaaat!!!

CANTIK kan??


Comments