Hujan

Foto dari sini
Siang nan terik. Hey matahari, mengapa kau masih betah bersinar pada Oktober? Bukankah bulan ini giliran hujan yang menguasai langit?

Cuaca akhir-akhir ini persis menggambarkan suasana  hatinya. Kering. Gersang. Kerontang. Dia butuh air yang mengandung endorfin. Hanya sepercik. Satu percik, yang menyeruakan aroma kebahagiaan saat menyentuh hatinya yang retak.

Langit nampaknya kasihan. Dalam sekejap, cerahnya biru berubah menjadi kelabu.

Ia tersenyum. Bukan karena rintik yang perlahan bergemericik. Sebuah kabar dari kawan lama. Foto seorang pria, berhasil melengkungkan bibirnya.

Dalam sepersekian detik, sebuah kata halo terbentuk. Tombol enter ia tekan. Jari si pria rupanya tak kalah sigap menari-nari di atas keyboard.

Matanya berbinar menatap layar. Dua sudut di bibirnya saling tarik menarik. Selanjutnya terdengar tawa yang semakin lama semakin nyaring.

Ia rehat sejenak. Benar-benar sebentar. Hanya untuk mengambil penganan agar perutnya berhenti berteriak. Ia kabur menuju dapur.

Puding cokelat sudah dipegangnya erat. Ia berlari dengan sedikit dansa-dansi. Tinggal selangkah lagi, namun ia berhenti. Tangannya menyibak gorden perak.

Di luar hujan deras. Geledek saling meledek. Kilat sambar-menyambar. Kelihatannya menyeramkan. Namun ia justru kesenangan.

Ia meringis menyaksikan langit menangis.

Comments