Naik Gunung Itu......

foto puncak kedua diambil dari puncak pertama

Sejak film 5 CM sukses, kayaknya banyak anak muda berbondong-bondong untuk naik gunung. Gw salah satunya. Cuma selama ini nggak pernah kesampaian. Ya, sekitar dua minggu lalu, impian gw naik gunung terwujud. Itupun setelah merengek sana sini minta ditemenin naik gunung. Akhirnya, si Bambang mau mengantar nyonya Kiky.

Kalau orang-orang mah keren ya. Gunung yang pertama kali mereka daki adalah Rinjani atau Semeru. Lah gw, cuma Gunung Rakutak. Waktu ditawarin Bambang untuk ke Rakutak, gw sempet bertanya, gunung apaan tuh? Rakutak terletak di Kabupaten Bandung,  Jawa Barat. Tingginya cuma 1957 meter di atas permukaan laut atau kerennya MDPL. 

Karena ajakannya mendadak, maka gw pun minim persiapan. Jogging pun cuma sekali. Di Ragunan ditemani oleh Abe dan Lolo. Itupun porsi joggingnya cuma 40 persen, sisanya jalan-jalan, makan dan lihat-lihat hewan yang ada di Ragunan. 

Kamis ditawarin, Selasa pagi gw dan Bambang jalan ke Rakutak. Barang-barang perlengkapan naik gunung semuanya diurus sama dia. Gw cuma bawa baju, jaket hujan dan sleeping bag. Karena barang bawaan gw dikit, gw cuma pake backpack airwalk gw yang terkenal andal, karena sudah melanglang buana hingga ke luar negeri. 

Kami janjian berangkat bareng dari Pool Bis Primajasa di PGC tujuan Terminal Luwi Panjang. Jam 7 teng, kata Bambang. Nggak boleh telat, kalau nggak ya nggak jadi. As simple as that. Gw yang terkenal memang tukang telat, ternyata bisa datang tepat waktu. Terima kasih kepada bapak Gojek yang tahu jalan tikus sekaligus dikasih bonus dongeng soal pengalamannya naik gunung waktu muda dulu. 

Perjalanan Jakarta- Bandung ditempuh sekitar tiga jam. Di terminal nanti kami akan bertemu dengan dua kawannya Bambang, Bayu dan Panji. Di pinggir terminal, depan tukang goreng adalah meeting point kami. Gw berkenalan dengan Bayu yang tak lain adalah adik kelas Bambang semasa kuliah dulu. Nah kalau Panji, temennya Bayu naik gunung. Yes, I was the only girl. Sebiji-bijinya cewe yang ikut dalam ekspedisi menaklukan Rakutak. 

Mereka curang! Ketika sudah kumpul, mereka berbahasa dalam Bahasa Sunda. Doh, emang sih, gw pernah belajar Bahasa Sunda, tapi tetap aja kan, nggak ngerti sama sekali dengan apa yang mereka omongkan. Gw sering banget protes ke mereka supaya berbahasa Indonesia saat ngobrol. Tapi protes gw nggak dihiraukan. 
Ini sebelum atau sesudah pos satu. Lupa. Intinya Nyonya Kiky kecapean

Dengan menggunakan sepeda motor, kami berkendara menuju kaki gunung Rakutak. Jaraknya sekitar dua jam perjalanan. Gw dibonceng Bambang dan harus memangku tasnya yang berat banget. Sepanjang perjalanan kami sempat berhenti untuk istirahat dan beli amunisi perut. 

Tibalah kami di sebuah rumah singgah para pendaki gunung Rakutak. Si Bambang nyambi kerja yaa. Ngobrol -ngobrol, ujungnya dikutip untuk ditulis di koran. Gw seperti biasa hanya planga plongo mendengar mereka ngobrol pakai Bahasa Sunda. Yang gw ngerti cuma satu kata: LUHUR, yang artinya puncak atau di atas. 

Beberapa saat sebelum mendaki, kami repacking untuk masukin logistik yang dibeli di jalan tadi. Si Bambang, karena sudah bawa tenda, jadi gw yang disuruh bawa logistik. Gw sih iya-iya aja di depan dia. Di belakang dia, saat Bambang lagi sibuk ngobrol, gw bongkar tasnya, masukin dua botol air mineral 1,5 liter ke dalam tasnya. Alhamdulillah dia nggak sadar. Sadarnya pas udah dipuncak kayanya. 

Dan perjalanan  pun dimulai. Jalur pertama yang kami lewati adalah perumahan warga dilanjutkan dengan hamparan kebun tomat, daun bawang dan cabai. Selanjutnya, hamparan sawah gersang yang nggak berkesudahan harus kami taklukan. Jujur ya, waktu jalan di perumahan warga gw udah ngos-ngosan. Tapi gengsi ya book, kalau balik kanan. Akhirnya gw maju pantang mundur. 

Jalur pendakian awal masih bersahabat karena tanahnya masih banyak yang rata. Tapi, lama kelamaan, jalanannya makin miring dan curam. Sebagai newbie yang sudah lama nggak olahraga, gw sering banget ditinggal oleh tiga akang Bandung itu.  Setelah perjuangan panjang, bermandi keringat, gw akhirnya sampai di Pos Pertama. 

Nah yang duduk sebelah gw namanya Bayu dan yang jongkok pake baju putih itu Panji

Mejeng dulu di pos satu bang dua pendaki handal

Alhamdulillah... lelah tuh rasanya hilang begitu tahu lo sudah cukup jauh berjalan dan kemudian dianugrahi pemandangan yang luar biasa indah. Dan kami pun dapat bonus, air pegunungan yang seger banget. Dingin, kayak air kulkas favorit gw. Subhanallah...

Puas beristirahat di Pos Pertama, kami melanjutkan pendakian. Tiga anak gunung ini memperingatkan kalau trek selanjutnya menuju puncak akan lebih curam. Gw pastinya langsung jiper. Tapi ya, kalau mau balik kanan capek juga ya. Mau nggak mau harus maju ke depan. 

Melewati Pos Pertama, kami langsung berhadapan dengan vegetasi atau hutan atau sebuah daerah yang penuh dengan pohon-pohon tinggi. Bener aja donggg, ternyata jalurnya jauh lebih mengerikan dibandingkan sebelumnya. Berasa panjat tebing boook. Untung ada akar-akar yang bisa dijadikan topangan untuk mengangkat badan gw yang segede gaban ini. 

Azan Maghrib berkumandang. Hari mulai gelap. Gw bilang ke Bambang kalau gw ini adalah anak yang penakut. Jadi ketika gelap, dia nggak boleh jauh-jauh dari gw. Untung ya, dia bertanggung jawab, benar-benar mau nungguin Nyonya Kiky yang berhenti setiap lima langkah. Pokoknya setiap jarak dua meter dia ninggalin gw, gw panggil-panggil dengan nada memelas. Biar dia kasihan sama gw. Hahahaaaa...

Bambang nyebut ini sebagai tanjakan penyesalan. Karena di jalur semacam ini, para pendaki kerap disergap dengan perasaan menyesal. I happened to me!!! Kenapa gw di sini? Lo gila boy? Mau pulang! Ibu, Kiky kangen, dan segala macam pemikiran itu berkecamuk di otak lo. Tapi lo nggak punya jalan lain selain lanjut jalan sampai ke puncak.

Si Bambang beberapa kali PHP, bilang kalau puncak sudah dekat. Sudah ada cahaya, itu pasti puncak. Ternyata zonk! Namun, setelah perjalanan panjang nan melelahkan, sayup-sayup gw mendengar suara ramai di atas. Nggak mungkin monyet dong ya. Itu adalah sekumpulan pendaki yang sudah gelar tenda dan mau nyalain api unggun.
Itu namanya jembatan Siratal Mustaqim
Alhamdulillah gw berhasil. Terima kasih ya Allah atas keteguhan hati untuk terus melangkah maju. Terima kasih juga Bambang. Gw duduk di samping Bambang. Kaki kami ongkang-ongkang di udara. Gw nyender (bukan ke Bambang) tapi ke backpack gw. Ya allah, perasaan gw saat itu campur aduk. Seneng, sedih, haru. Semuanya. Sumpah ya, nggak ada yang bisa mengalahkan keindahan rasa saat elo sampai puncak, duduk bersandar di backpack elo. Luar biasa nikmatnya. Elo merefleksikan perjuangan lo dari berangkat sampai menjejakan kaki di puncak.

Mungkin sekitar 20 menit gw menikmati sensasi berada di puncak gunung. Tapi itu bukan puncak utama Gunung Rakutak. No! kami harus mendaki sekitar 20 menit lagi untuk mencapai ketinggian 1957 mdpl. Puncak dua dan puncak satu dihubungkan oleh jembatan yang diberi nama Siratal Mustaqim. Jembatan bebatuan yang sangat sempit, yang harus ekstra hati-hati saat dilewati. 

Kami berpamitan pada akang-akang yang mulai gonjeng-gonjeng gitar sambil bakar-bakaran. Saat mereka tahu kami mau ke puncak utama, mereka memperingatkan agar hati-hati. Si akang juga bilang: berkabut lho. Saya aja nggak berani. Damn!!!! Warga lokal aja nggak berani, ini akan kemarin sore sudah kepedean mau nyebarang jembatan menuju surga. 

Lagi-lagi kami tidak punya pilihan lain. Puncak dua hanya cukup untuk dua tenda. Lagipula Panji dan Bayu sudah lebih dulu naik ke puncak dan membangun tenda di sana. Dengan niatan mulia dan bismillah, gw dan Bambang memutuskan untuk lanjut. 

Gila ya. Si akang nggak bohong. Jembatannya ngeri banget. Si Bambang sampai harus mencontohkan dimana gw harus meletakan kaki agar nggak jatuh ke jurang di kanan dan kiri jembatan. Alhamdulillah, kami berhasil melewati jembatan itu dan bertemu Panji dan Bayu di atas. Yuhu, sensasi girang berlanjut karena berhasil sampai di 1957 mdpl.

Sebagai satu-satunya perempuan, gw duduk manis menantikan mereka membangun tenda. Setelah tenda jadi, gw beberes, ganti baju dan bersihin seluruh badan pakai tisu basah. Gw udah bak nyonya besar ya, pas laper dimasakin mie sama Panji. Mau minum teh anget, dimasakin air sama Panji. Makasih Panji!

Konon, kalau di atas gunung, kita nggak boleh tidur cepat. Kita harus menikmati kesunyian di puncak gunung sambil memandang keriuhan di bawah Oh iya, jangan lupa menikmati langit, yang masyaallah indahnya karena bertabur bintang. 

Gw sudah berusaha untuk menikmati malam bersama mereka. Duduk di depan api unggun. Tapi kok ya, asep api unggunnya mengarah ke muka gw. Daripada gw bengek, mending gw masuk tenda. Eh ternyata, nggak lama setelah gw masuk tenda, si Bambang juga masuk. Ya udah, malam itu dihabiskan dengan ngobrol naglor ngidul sama Bambang. 

Gw nggak bisa tidur. Satu, karena si Bambang ngorok. Kedua karena jelang tengah malam, satu persatu entah pendaki darimana berdatangan mengelilingi tenda kami. Berisiknya minta ampun. Ada yang nyanyi. Ada yang setel lagu. Dan ada yang putar rekaman ceramah agama. Ya allah, terima kasih di atas gunung masih mendapatkan siraman rohani :(

Gara-gara itu, gw jadi bangun siang. Melewatkan matahari terbit. Gila ya, pertama kali naik gunung, gw bisa-bisanya melewatkan momen dimana sang surya menampakan batang hidungnya (zzzttttt....). Kayaknya baru sekitar jam 7 pagi gw keluar tenda untuk foto-foto ala- ala anak gunung. 

Duh, Nyonya Kiky gayanya selangit deh. Padahal mah ketakutan tuh pas nyebrang jembatan

Sekitar jam 09.00 WIB, kami memutuskan untuk turun. Padahal gw minta supaya turunnya sore, karena mataharinya mulai terik. Tapi semakin sore kami turun, bisa-bisa kami nggak dapat mobil balik ke Jakarta.

Seperti biasa, Panji dan Bayu jalan cukup cepat. Sementara gw dan Bambang lamaaaaa banget. Karena  sebentar-sebentar berhenti dan ngobrol lagi ngalor ngidul. Oh ya, untuk kalian semua ketahui, turun gunung itu sama sulitnya dengan naik. Apalagi pas lewat jembatan mengerikan itu. Di siang hari, jurangnya benar-benar kelihatan, Bikin gw makin ngeri. 

Pas turun, gw jatuh berkali-kali. Dan yang paling sakit itu waktu jatuh lalu ketimpa orang lain. Hasilnya paha kanan biru-biru. Si Bambang juga cedera tuh, kakinya lecet-lecet gara-gara sepatunya. 

Perjalanan turun yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu dua jam molor menjadi empat jam. Sampai di rumah singgah itu, kami mandi, ganti baju dan siap-siap naik motor lagi ke Terminal Luwi Panjang. 

Agak nggak tega sama Panji yang boncengin gw pas balik. Gw tahu banget dia capek. Sementara gw, curi-curi tidur selama diboncengin dia. Duh, dik Panji ini memang luar biasa. Kakak doain nanti bisa manjat gunung tertinggi di Indonesia dan dunia. 

Begitulah, perjalanan gw sebagai anak Purpala (Pura-pura Pecinta Alam) dengan tagar #GarisKerasSelfieDiKetinggian (ini ajarannya si Panji dan Bayu). Pahit manis pengalaman selama mendaki Rakutak, awalnya membuat gw kapok. No! Gw nggak akan naik gunung lagi! Tapi seminggu pasca naik gunung, Bambang mengajukan pertanyaan: Sudah addict naik gunung? Gw jawab: kangen naik gunung. 

Ditunggu ya ajakan naik gunung berikutnya (dan kayaknya ajakan itu nggak akan pernah datang). Eyaaa... akhirnya kenapa jadi nggak enak. Pokoknya, gw pasti akan kembali ke gunung. Kalau nggak ke gunung beneran at least ke Gunung Sahari atau toko buku Gunung Agung. Sekian epilog yang rada-rada krik-krik ini. 

Kiky 
12.19 am

PS: Semua foto milik Bambang


Comments