Pernikahan Impian

Ada yang ingin menikah ala putri-putri rekaan Disney
Ada yang ingin menikah menggunakan adat 
Ada yang ingin menikah di kebun
Ada yang ingin menikah di restoran
Ada yang ingin menikah hanya di KUA saja


Saya, 
saya memimpikan intimate wedding yang hanya dihadiri oleh keluarga inti dan sahabat terdekat saya.  Keinginan itu muncul ketika menghadiri pernikahan Vera, senior saya di kampus. Vera menikah di sebuah restoran dan hanya sekitar 50 orang yang hadir. Mereka yang hadir adalah orang pilihan, yang kenal betul dengan sosok Vera dan calonnya. Karena itu, di satu bagian acara, ada sesi di mana beberapa tamu memberikan komentar tentang si pengantin. Saya tersihir dengan kehangatan pesta tersebut dan berjanji, jika menikah nanti akan mengusung konsep serupa.

Bagaimana dengan keluarga?
Ibu dan Babeh saya memberikan kebebasan sepenuhnya kepada saya untuk menentukan konsep pernikahan saya. Tapi, mereka tidak begitu saja terima dengan ide yang saya cetuskan. Terutama berkaitan dengan undangan. Meski merestui tema menikah kasual yang saya ajukan, mereka tetap meminta jatah undangan untuk rekan dan kerabat. Saya berkukuh kalau undangan terbatas, sehingga tidak mau mengundang orang-orang yang saya tidak inginkan hadir di pernikahan saya. Dan mereka tetap pada pendiriannya.

Karena tidak ada titik temu, saya sempat melakukan aksi tutup mulut terhadap mereka. Saya menutup  ruang diskusi tentang hal ini. Beruntung ada Lendra yang memberikan pandangannya tentang hal ini dan membuat saya mau berkompromi dengan Ibu Babeh terkait jumlah undangan. 

Hanya sekedar undangan?
Tentu saja tidak. Permasalahan makanan juga menjadi perdebatan alot antara saya dan orang tua saya.  Dengan konsep yang saya usung, saya merasa nggak perlu lagi menyajikan nasi dan lauk pauknya. Sementara Ibu Babeh berpendapat saudara yang datang dari jauh membutuhkan makanan berat, tidak sekadar dimsum, sate padang atau bakso.  Awalnya saya menolak ide ini karena menambah prasmanan artinya perlu tambahan anggaran lagi. Namun benang kusut ini akhirnya terurai setelah adanya win-win solution dari kedua belah pihak. #ifyouknowwhatimean.

Sudah itu saja masalah yang timbul saat persiapan pernikahan?
TENDA! Ini juga bikin pusing. Sejak awal saya mau pernikahan ini beratapkan langit malam dan lampu-lampu hias. Tapi ya, namanya menikah di bulan Desember, jadi harus berkompromi dengan alam. Apalagi minggu-minggu menjelang hari H, hujan nggak pernah absen basahi bumi. Sedih ya. Mendekati hari H, perasaan keengganan untuk menggunakan tenda masih ada. Tapi daripada tamu dan makanan kehujanan, ya lebih baik mengalah untuk kepentingan yang lebih besar. 

Oh ya, masalah lay out venue juga jadi isu yang bikin berurai air mata. Ini seriusan. Saya nangis dan menganggap Lendra mematahkan pernikahan impian saya hanya karena dia punya pendapat lain tentang tata letak kursi. Ini drama banget sih saya. Walaupun sudah ditangisi, pada akhirnya ide saya untuk menyusun bangku layaknya sebuah pemberkatan pernikahan tidak direalisasikan karena satu dan lain hal. 

Since we hold the wedding in the frontyard, we had to deal with the neighbours. Ini juga agak alot sampai ganti lay out venue. Meski sempat kesal karena mendapatkan banyak masukan ini itu dari mereka yang menurut saya akan mengganggu konsep pernikahan saya, pada akhirnya, mereka justru jadi garda terdepan yang sigap bantu ini itu. Mereka bahkan nggak sungkan untuk turun tangan masalah parkir dan hal-hal kecil lainnya.  Thank you all for the support!!!

Intinya mewujudkan pernikahan impian itu bukan hal yang gampang (apalagi kalau terkendala budget, dsb). Kita harus mau berkompromi dengan banyak pihak, mengimprovisasi ide-ide kita dengan kondisi di lapangan dan terbuka atas segala masukan (nggak perlu juga semuanya ditelan mentah-mentah). I would like to say that marriage is all about compromise!

Comments

Post a Comment