"Tak apa. Kukira kau tak akan datang," kata dia dengan wajah resah.
"Adakah alasan untukku tak datang ke tempatmu. Katakan, ada apa? Mengapa kau ingin bertemu denganku malam ini. Tadi siang, kita baru bertemu,"
Kami sudah duduk di sofa merah di ruang tamu. Di bawah cahaya lampu redup, kami duduk bersila saling berhadapan. Kulihat lekat-lekat raut wajahnya. Masih tampak resah dan basah oleh keringat.
"Ada apa?" Tanyaku tak sabar. Kupegang kedua tangannya dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku membelai lembuh pipinya yang basah.
"Ada sesuatu yang ingin kuceritakan. Ini tentang masa laluku....." Kalimatnya terputus. Aku mengangguk meminta ia melanjutkan ceritanya. Ia balik memegang, meremas tanganku.
"Kau tahu aku adalah duda. Aku pernah berkeluarga. Tapi kau tak tahu persis kisahku dengan mantan istriku...." Ceritanya. Mataku memicing, ketika ia berniat menceritakan romansa cinta dengan mantan istrinya. Dari awal, aku tak peduli dengan masa lalunya. Yang kutahu, dia pernah menikah, kemudian bercerai. Putrinya tinggal bersama mantan istrinya. Itu saja.
"Kau tak pernah menanyakan secara detail masa laluku," kata dia. Aku diam, meminta ia melanjutkan ceritanya.
"Mantan istriku ada dua. Yang pertama, dia lebih tua dariku. Ia memiliki figur keibuan. Ia seorang wanita karir. Orientasinya karir. Sangat sibuk. Bahkan jika aku ingin bercinta, aku harus berlutut mengiba," katanya sambil menunduk. ia tampak malu harus menceritakan masa lalunya yang kelam padaku. Aku masih terdiam.
"Kuputuskan untuk meninggalkannya. Ia terima dengan syarat, hak asuh putri kami ada padanya. Aku setuju. Tahu kah kau, dia sekarang seorang wanita karir yang sangat kaya," kataku.
"Dan kau menyesal, telah meninggalkannya?" Tanyaku.
"Tidak. Aku tak pernah menyesali keputusanku," jawabnya sembari menatap mataku.
"Yang kedua. Aku tak ingin menyebutnya sebagai istri. Karena aku menikahinya karena terpaksa......" Ia membungkuk. Kepalanya kini berada di dua tungkai kakiku. Ia seolah sedang memohon maaf sebelum menceritakan lebih jauh tentang "istri keduanya".
"Ia hamil. Aku bertemu dengannya di club. Kami berkenalan, minum dan berakhir di tempat tidur," kata dia lirih.
"One night stand?" Tanyaku. Ia mengangguk malu.
"Ia kemudian hamil, meminta pertanggungjawabanku. Terpaksa aku menikahinya. Menjadi suaminya hingga anak kami lahir. Tak lama setelah ia melahirkan, aku menceraikannya," katanya.
"Mengapa? Kalian sudah hidup sembilan bulan bersama. Tak adakah cinta? Tak bisakah kau mempertahankan pernikahan itu demi anakmu?" Aku memberondongnya dengan pertanyaan. Aku melepaskan genggaman tangannya. Kurubah posisi duduk. Tak lagi mengahadap dirinya.
"Tidak ada cinta. Aku tak pernah mencintainya, demikian juga dia. Tak mencintaiku. Pernikahan itu hanya sebuah kedok untuk menutupi kehamilannya. Meski sudah berstatus suami-istri, kami bebas berhubungan dengan orang lain. Ia punya kekasih lain, tapi aku tak peduli."
Kami berdua terdiam. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya dan mulutku. Aku sibuk menggoyang-goyangkan kakiku. Kulirik ia, bersandar pasrah pada sofa. Telapak tangannya menutup wajahnya.
"Apa maksudmu menceritakan semua ini padaku?" Tanyaku dingin. Seketika, ia meraih wajahku dengan kedua tangannya, mengarahkan persis ke depan wajahnya. Kuhindari tatapan matanya. Tapi ia terus berusaha membuatku menatapnya.
"Aku tahu, pandanganmu tentang diriku kini sudah berubah. Kau pasti berharap tak pernah bertemu dan menjalin cinta dengan orang sepertiku,"
"Dengar. Aku hanya ingin kau mengetahui semua masa laluku. Aku tidak ingin kau tahu tentang hal ini setelah kita menikah. Kau harus bisa menerimaku, menerima masa laluku,"
"Apa yang harus kukatakan pada Ibu? Aku sudah bersusah payah membujuknya agar menerimamu untuk menikahiku. Kau tahu betapa sulitnya aku meyakinkan Ibu tentang diriku. Menjelaskan kalau pria yang kucintai 15 tahun lebih tua dariku, sudah pernah menikah dan punya anak," kataku mencoba tegar.
"Ceritakan ini padamu Ibumu. Ia juga berhak mengetahui masa lalu calon pendampingmu. Kalau ia ingin aku jadi suamimu, ia harus menerima masa laluku. Apapun keputusan Ibumu nanti...."
"Kau terima begitu saja jika Ibu memutuskan untuk menolakmu? Apa yang kau akan lakukan?"
"Perasaanku untukku sangat kuat. Demi Tuhan, aku berharap tidak ada kerikil perbedaan di antara kita. Aku berharap bertemu denganmu jauh sebelum aku menikahi mantan istriku. Aku berharap, aku 10 tahun lebih muda dan belum menikah. Ibu pasti dengan mudah menerimaku,"
"Aku tak tahu.... Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kukatakan?" Pipiku basah. Ia menarik tubuhku. Meletakan di dadanya. Aku didekap erat. Kurasakan hangat ketika ia mengusap-usap punggungku. Kepalaku tak henti-henti ia cium.
"Sayangku, aku tak mungkin melepasmu. Terima aku dan masa laluku,"
Pikiranku melayang. Membayangkan apa yang akan terjadi dengan ibu. Dengan kami. Dengan rencana pernikahan kami. Aku benar-benar tak tahu. Yang aku lakukan sekarang hanya menikmati pelukan hangatnya, ciuman mesranya, usap-usap lembut tangannya. Mungkin, setelah ini, aku tak tak bisa lagi merasakannya...
........... bersambung............
Comments
Post a Comment