Seingatku, baru pukul lima aku bisa benar-benar memejamkan mata. Tepat setelah azan Subuh berkumandang. Mugkin ketika itu, aku sudah mulai terbiasa menghirup oksigen dari mulut.
Tidur lelapku yang hanya tiga jam itu berakhir ketika Ibu mengetuk pintu. Sayup kudengar ia bertanya mengapa pukul delapan aku tak berangkat kerja.
"Aa...." Sial, tenggorokanku benar-benar kering. Bahkan untuk menyahuti panggilan Ibupun sulit.
"Den? Kamu nggak apa-apa?" tanya Ibu dari balik pintu. Sebenarnya Ibu bisa saja masuk ke kamar dan melihat putranya sakit. Pintuku tak pernah terkunci. Akan tetapi, kami punya aturan. Setiap orang harus mengetuk pintu dan mendapat ijin dari pemilik kamar untuk bisa masuk.
"Aku nggak apa-apa, Bu. Hari ini nggak kerja," kataku usai menegak segelas air putih di atas meja kecil di samping kasurku.
Mendengar anaknya sakit, Ibu menerobos masuk. Wanita ayu berumur setengah abad itu duduk di sampingku. Tangannya langsung diletakan di keningku, lalu di lenganku.
"Demam. Ke dokter ya nanti. Kemarin kamu hujan-hujanan, kan?" Ibu kini mengelus-elus rambutku. Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku membalikan tubuhku membelakangi Ibu. Sekarang punggungku yang ia usap-usap. Aku benar-benar menikmati ini. Rasanya seperti kembali ke masa kecilku dulu. Sebuah kegiatan yang Ibu lakukan untuk menidurkanku. Dan, usapan Ibu kali ini masih ampuh membuat aku terlelap.
Baru terlelap beberapa saat, suara wanita di luar pintu kembali membangunkanku.
"Raden.. Raden.. Boleh masuk ya?" pinta perempuan tersebut.
"Masuk," jawabku lirih. Kudengar selangkah demi langkah, ia berjalan mendekati tempat tidur, dimana aku terbaring meringkuk di bawah selimut. Aku merasakan tempat tidurku memantul. Wanita itu kini sudah duduk di sisi pinggir kasurku. Tanpa membuka mata, aku menggerakan kepalaku mendekati pahanya. Kurebahkan kepalaku di atas pahanya yang berbalut rok satin hitam. Sama seperti Ibu, ia membelai lembut rambutku
"Ibu pasti telpon kamu, ya?" tanyaku, masih dalam keadaan mata terpejam. Ia tak menjawab pertanyaanku. Ia malah menawarkan diri untuk membawaku ke dokter.
"Cuci muka sama sikat gigi gih. Aku antar kamu ke dokter,". kata wanita itu. Aku mendongak. Membuka mata kiriku, memandang wajah cantiknya, kemudian tersenyum.
Rindang, nama perempuan itu. Jangan salah sangka. Dia bukan pacarku. Dia bisa dibilang sahabat terbaikku sekaligus sahabat Ibu. Aku mengenalkan sejak SMP. Ia murid pindahan yang langsung jadi idola sekolah. Rindang cantik, membumi dan seperti namanya, selalu memberi keteduhan. Semua anak lelaki di sekolah ingin jadi pacarnya, termasuk aku.
Seperti pria-pria lainnya, aku berusaha mendekatinya. Mengajaknya jalan-jalan, menonton, mengerjakan PR bersama hinggamengantar jemputnya. Akan tetapi, semakin jauh aku mengenal Rindang, perasaan suka dan ingin menjadikannya sebagai pacar justru memudar. Yaa, aku tetap menyukai Rindang, tapi hanya sebagai sahabat.
Aku tahu dulu Rindang berharap sekali aku menembaknya. Terlihat setelah beberapa bulan kedekatan kami, namun aku tak kunjung menyatakan cinta, Rindang perlahan menjauh. Mungkin ia kecewa. Ia menghindariku untuk beberapa saat. Pada masa itu, aku tak berusaha mendekatinya. Kubiarkan ia yang mendekat kembali padaku.
Jahat? Aku tak jahat. Aku tak mau mengulang kesalahan kedua. Mendekatinya, membuat ia merasakan cinta, sementara aku menganggapnya hanya sebagai teman biasa. Pada akhirnya Rindang yang mendekat. Kali ini kukatakan dari awal, kalau aku benar suka namun hanya sebatas sahabat. Rindang memahami itu dan sejak saat itu kami bersahabat.
Tak hanya bersahabat dengaku, Rindang juga berteman baik dengan Ibuku. Dari kali pertama aku membawa Rindang ke rumah, Ibu langsung menyukainya. Ibu serasa mempunyai anak perempuan yang selama ini diidam-idamkan. Ibu jadi punya teman masak, teman berkebun dan teman bergosip. Ketika Rindang menjauhiku dan tak lagi main ke rumah, Ibu selalu menanyakannya. Ibu kehilangan sahabatnya.
Ibu orang yang fair, yang membiarkan putra memilih wanita yang benar-benar dicintai anaknya. Ibu tak pernah ikut campur urusanku dengan Rindang. Apalagi sampai menyuruhku jadian dengan Rindang.
Meski tak berniat menjodohkan aku dengan Rindang, namun Ibu sering menyebut Rindang sebagai sosok ideal untuk dijadikan seorang istri. Entah sudah berapa kali Ibu puja-puji dialamatkan pada kesempurnaan fisik maupun sifat Rindang.
***
Aku sudah siap ke dokter. Bak, seorang pacar, Rindang memegang tanganku ketika kami keluar kamar. Setelah pamitan dengan Ibu yang tengah sibuk memasak, kami berangkat ke dokter.
Rindang memutuskan untuk duduk dibalik kemudi, sementara aku duduk di kursi penumpang. Padahal sebelumnya aku sudah menawarkan diri untuk menyetir mobilnya, tapi ia menolak.
"Kamu kenapa sih hujan-hujanan? Kan punya payung," Rindang membuka percakapan.
"Payungnya gambar Hello Kitty. Aku malu," jawabku iseng padahal alasanku hujan-hujanan adalah untuk bertemu Jingga, si perempuan senja.
"Besok aku beliin kamu payung warna hitam. Biar nggak malu lagi," usul Rindang.
"Rin, kamu bolos kerja gara-gara aku ya?" tanyaku. Rindang menoleh ke arahku dan tersenyum.
Perjalanan dari rumah sampai dokter terasa begitu cepat. Ini karena kami tak berhenti mengobrol sepanjang perjalanan.
Kami sudah berada di ruang kerja dokter Maria. Ia memeriksaku kemudian memberikan resep. Setelah menebus resep, kami kembali ke rumah.
Di rumah, Ibu sudah menyiapkan makan siang. Sayur bayam kuah bening dengan tempe bacem. Itu menu favoritku. Kami bertiga makan bersama. Terlibat dalam obrolan seru mengenai pasangan artis yang cerai gara-gara si perempuan berselingkuh.
Setelah kami selesai makan, Rindang dengan cekatan membereskan meja. Selanjutnya ia mempersiapkan obat yang harus kuminum. Ia duduk di sampingku, memastikan bahwa aku tak menunda-nunda untuk meminum obat.
"Suami Rindang nanti pasti beruntung deh punya istri kayak kamu," celetuk Ibu yang menyaksikan Rindang melayaniku bak suaminya.
"Ah, tante bisa aja," kata Rindang. Sebelum pembicaraan ini makin melebar, aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Lagi-lagi Rindang mengantarku sampai tempat tidur. Merapikan selimutku dan memasang AC pada suhu yang tak terlalu dingin.
"Makasih ya," aku tersenyum.
"Aku di bawah ya sama Ibu. Kalau butuh apa-apa, kamu kasih tahu aku," kata Rindang sembari menutup pintu.
Dari kamar, aku bisa mendengar Rindang dan Ibu asyik mengobrol. Hal itu membuat kau memikirkan apa yang sudah dilakukan Rindang hari ini dan hari-hari sebelumnya kepadaku dan Ibu. Muncul pertanyaan di benakku. Mengapa aku tak bisa mencintai wanita sempurna di mataku dan Ibuku? Mengapa sekarang aku justru tertarik dengan perempuan senja? Belum sempat aku menemukan jawaban pertanyaanku itu, obat yang tadi kuminum mulai bekerja. Perlahan, aku menutup mata.
foto: milik Matthijs D
Comments
Post a Comment