Ini hari Jumat, tepat pukul 17:00 WIB. Matahari siap berganti shift dengan rembulan. Perlahan, ia menenggelamkan diri di bumi bagian barat. Aku suka saat-saat seperti ini. Apalagi saat cahaya sang mentari menerobos kaca tebal kantorku. Meninggalkan secercah kilau kuning di meja kerjaku.
Saatnya aku pulang. Kuraih ransel hitam berukuran sedang yang tergeletak di lantai. Laptop kumatikan dan kumasukan ke dalam ransel. Ponsel dengan layar sentuh disimpan di saku sebelah kiri kemejaku.
Aku berjalan melewati kubikel-kubikel dimana rekan kerjaku masih sibuk di belakang layar komputer mereka. Sebenarnya tak semuanya sibuk. Sebagian chatting, ada yang menonton video, melihat-lihat profil facebook milik gebetan atau membaca status twitter.
"Balik duluan ya!" teriakku pada sekitar 15 orang yang bekerja di lantai 20 di Gedung Kirana kawasan Kuningan.
"Masih macet woi. Buru-buru amat," celetuk Mizan, rekan kerjaku yang bergaya necis, metroseksual.
"Zan, dia kan naik busway. Senang dempet-dempetan di busway. Apalagi kalo sebelahnya cewek," timpal Anton, si tukang ngebanyol.
Omongan mereka kutanggapi dengan senyuman dan lambaian tangan. Mereka suka sekali menjadikan kebiasaanku pulang tepat waktu sebagai bahan candaan. Aku sudah kebal mendengar lelucon dan gurauan mereka. Berangkat dan pulang tepat waktu serta bekerja tepat sembilan jam sudah menjadi prinsipku. Tak perlulah sampai lembur di kantor untuk menyelesaikan pekerjaan. Aku selalu berusaha memaksimalkan kemampuanku untuk menyelesaikan apa yang menjadi tugasku setiap hari. Sembilan jam rasanya sudah cukup untuk menuntaskan catatan keuangan kantor.
Kini aku sudah berada di depan tangga panjang halte busway. Dari situ kulihat antrian manusia mengular panjang. Aku berlari kecil. Susul-menyusul dengan penumpang busway lainnya untuk mencapai loket penjualan tiket. Kutukar uang Rp 3500 dengan selembar tiket. Tiket itu kemudian kuserahkan kepada petugas. Sembari si petugas merobek tiketku, aku memperhatikan antrian di dua pintu. Antrian pintu depan sudah penuh dengan wanita. Beberapa pria terlihat nyempil di antara penumpang wanita. Sementara antrian pintu belakang tampak longgar. Kuputuskan mengantri di antrian belakang.
Tak lama setelah mengantri, satu bus pun tiba. Sial, bus yang datang ternyata bus satu pintu. Bus berwarna merah kuning dari koridor satu yang biasanya diperbantukan di koridor enam pada jam-jam padat pulang kantor. Aku segera pindah ke antrian pintu depan dan berusaha agar terangkut.
Di dalam bus, tak ada lagi kursi kosong. Aku berdiri tak jauh dari pintu. Bukannya egois tak mau geser ke bagian dalam bus. Tapi, badan bus sudah penuh dengan jejalan penumpang. Makanya aku berdiri dan berpegang pada tiang di dekat pintu bus.
Setiap kali bus berhenti di halte, semakin sesak bus jadinya. Akupun terdorong sedikit ke bagian tengah bus. Sangat berjejal, kondektur terus memaksakan agar di setiap halte minimal ada satu orang penumpang yang terangkut. Saking sesaknya, sepertinya aku bisa berdiri tanpa berpegangan. Sebelah kanan, aku diapit tas besar seorang Ibu berjilbab, sebelah kiriku ada karyawati cantik yang mengenakan kemeja tak berlengan. Ia sama sekali tak berpegangan. Mungkin malu, ketiaknya berbulu. Ia bersandar padaku. Dan aku nggak keberatan ada perempuan cantik nyender di bawah ketiakku.
Di halte Kuningan Timur, bus menaikan satu orang penumpang wanita. Ribet sekali wanita ini, kataku dalam hati. sudah membawa dua tas yang disampirkan kedua bahu, tanganya sibuk memegang handphone. Mba, mbok ya tahu diri! Handphonenya dimasukin tas dulu. Nanti kalau sudah di dalam bis baru dimainin lagi. Kalau jatuh waktu masuk bus kan situ juga yang malu, komentarku lagi-lagi dalam hati.
Ia tak cantik. Perempuan itu berkulit sawo matang. Rambutnya ikal, digulung ke atas. Jidatnya jenong dan kulitnya berminyak. Segera setelah masuk bus, ia membalikkan badannya ke arah barat. Eh, kok dia mendadak tersenyum. Aku coba mencari tahu mengapa ia tersenyum. Kenapa ya? Pemandangan di depan hanyalah gedung perkantoran kawasan kuningan. Di antara gedung-gedung itu menyembul semburat kuning cahaya matahari. Oh, mungkin dia girang melihat matahari tenggelam. Dan benar, wanita itu adalah penikmat senja.
Sampai di Mampang, aku sesekali masih memperhatikan gerak-gerik perempuan itu. Kali ini cahaya matahari masuk ke dalam bus. Mataku merasakan silaunya cahaya tersebut. Kupalingkan wajahku ke kiri, ke arah perempuan itu. Sementara yang lain menghindari silaunya cahaya matahari, dia malah terus tersenyum. Wajahnya mengkilat ketika cahaya mentari beradu dengan minyak di wajahnya.
Langit nan biru mulai diperciki warna jingga. Terutama di sebelah Barat. Matahari sudah semakin rendah. Mungkin sudah diusir oleh bulan yang ingin segera memberikan romantisme pada malam.
Senyum wanita itu semakin melebar tak kala langit menjingga. Walaupun tak cantik, ia punya senyum yang manis. Ketika jingga memudar, senyum si wanita itupun menghilang. Langit menjadi gelap hitam. Bulan segeralah datang. Mungkin kau bisa kembali melengkungkan senyum manis di bibir wanita itu. Dengan tersipu-sipu, bulan meninggi dan menerangi malam. Alih-alih kembali tersenyum, wajah si wanita malah jadi masam.
Aku semakin tertarik dengan wanita penikmat senja ini. Kira-kira dimana dia bekerja, dimana dia tinggal, apakah masih sendiri? Gila. Ada apa denganku? Semudah itu terpikat dengan wanita penikmat senja. Tidak putih, tidak berambut lurus dan maaf kurang cantik. Dia bukan tipeku. Apa yang membuatku tertarik pada pandangan pertama dengannya?
Ia turun di halte Pejaten. Busway masih saja penuh meskipun sudah memasuki tujuan akhir. Mataku tak bisa melepaskan pandangan dari wanita itu. Saat ia turun dari bus, keluar halte, menuruni tangga halte, bola mataku tetap memperhatikannya. Bahkan karena badanku harus memutar untuk melihatnya, sikuku menyikut kepala perempuan yang tadi bersandar padaku.
Foto: Rizkyamelia
Comments
Post a Comment