ilustrasi [dok: www.stockphotos.it]
Yuk, berkenalan dengan seorang jaksa bernama Fachrizal. Minggu lalu, saya bertemu dengannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi [tipikor]. Dia adalah jaksa penuntut umum untuk kasus dugaan korupsi dana biopsi [biaya operasional direksi] di Peruri [Percetakan Uang Republik Indonesia].
Gemesin? Ya, Jaksa Fachrizal ini memang super menggemaskan. Eh, menggemaskan atau nyebelin yah? Silahkan tentukan apakah dia menggemaskan atau menyebalkan setelah kalian baca awal mula saya berhubungan dengan jaksa tambun ini.
Usai sidang dakwaan, seperti biasa saya akan minta surat dakwaan untuk difotokopi. Tujuannya biar saya nggak salah nulis isi dakwaan jaksa.
Dasar jaksa kejaksaan, super duper pelit! Sudah minta baik-baik tapi di-pimpong. Disuruh minta sama ketua jaksanya. Waktu minta ke ketua jaksa, dia bilang nggak punya.
Nyebelin!! Padahal, kalau jaksa KPK dengan baik akan menyiapkan satu kopian untuk wartawan. Tapi jaksa kejaksaan??? Medit!!!!
Karena nggak dapat surat dakwaan, saya dan Sari Koran Tempo berusaha mewawancarai salah satu jaksa mengenai kronologi dan jumlah uang yang diduga dikorupsi.
Dan kami menemui jaksa Fachrizal. Mojok anteng di sebelah lift. Dengan senyum Pepsodent, kami menghampiri Jaksa Fachrizal. Sari mulai bertanya.
"Pak, sebenarnya bagaimana kronologi kasus ini, Pak?" tanya Sari.
Jaksa Fachrizal diam. Matanya tak mau menatap kami. Dia bersikap sangat acuh. Tangannya sibuk memainkan ID Jaksa yang menggantung di kantong sebelah kiri.
"Mmm.. baca dakwaannya saja," Jaksa Fachrizal akhirnya bersuara.
Saya kemudian nyeletuk. Saya katakan kalau kami tidak diberi kopi surat dakwaan oleh jaksa. Saya dan Sari tak patah arang. Kami terus bertanya.
"Pak, sebenarnya siapa saja yang berhak memperoleh dana biopsi? Seluruh direktsi ya Pak?"
Jaksa Fachrizal menjawab: "Mmmm.. saya lupa. Lihat dakwaan saja!" Sikap Jaksa Fachrizal masih sama. Matanya menerawang, tangannya masih memainkan ID. Ditarik-tarik, diputar-putar.
"Pak, kan ada pihak ketiga yang juga menerima dana biopsi. Siapa lagi itu pak?"
"Mmm.. saya nggak tahu," kata Jaksa Fachrizal, tetap sibuk memainkan ID dan matanya sibuk melihat pengunjung sidang.
"Pak, Pak, Pak, Pak, Makasih ya Pak!!!"
Grrrr... kami menyerah!!!! Saya dan Sari meninggalkan Jaksa Fachrizal. Seluruh pertanyaan kami tak terjawab!
Saya saat itu rasanya ingin menuliskan berita berjudul:
DITANYA KRONOLOGI KASUS PERURI, JAKSA TIDAK TAHU!!
atau
JAKSA TAK MENGUASAI SURAT DAKWAAAN KASUS KORUPSI PERURI
Saya bertanya-tanya, sesungguhnya mereka menguasai surat dakwaan nggak sih? Atau mereka sengaja tak mau berkomentar soal kasus ini?
Seharusnya dengan adanya Undang-Undang No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, kami bisa mendapatkan surat dakwaan dengan mudah. Jaksa berdasarkan Undang-Undang tersebut semestinya memberikan informasi yang kami butuhkan.
Kalau tidak diberikan, bisa saja kami mengajukan gugatan ke Komisi Informasi Pusat. Seperti yang dilakukan ICW ketika tak berhasil meminta Kepolisian menyerahkan hasil penyelidikan kasus rekening gendut perwira tinggi Polri.
Oh ya, kalian juga bisa menggunakan Undang-Undang ini untuk meminta informasi ataupun data yang kalian perlukan di seluruh lembaga pemerintah dan non pemerintah.
Nah, balik lagi ke kisah Jaksa Fachrizal. Apakah dia menggemaskan atau menjengkelkan???????
Comments
Post a Comment