Dua tahun saya tinggal dan sekolah di Purwokerto. Saat saya duduk di bangku kelas 4 sampai 6 SD.
Saat itu, Ibu dan Bapak ada masalah. Kami bertiga, Abang, saya dan adik, diungsikan ke rumah nenek.
Di rumah yang sederhana ini, ramai dengan kehadiran cucu-cucu Nenek. Bukan hanya kami bertiga, ada cucu nenek dari Uwa No [anak tertua Nenek] yang juga tinggal di sini.
Setelah sekian lama, tidak ada yang banyak berubah. Rumah Nenek masih sama seperti dulu. Bahkan sejumlah interior rumah masih sama. Pajangan keramik, gorden, tempat tidur, bentuk kamar mandi dan sumur dipertahankan oleh Nenek.
Di usia yang sudah seperempat abad ini, semuanya tampak mengecil. Jalan raya di kampung ini mengecil. Tak selebar dulu yang menyebabkan saya takut untuk menyebrang.
Kemudian jarak dari rumah Uwa Karti [putri kedua Nenek] ke rumah Nenek. Dulu, saat kecil, saya merasakan betul lelahnya menempuh perjalanan itu. Tapi sekarang, cuma beberapa langkah dan sama sekali saya tak merasakan lelah.
Semua tampak mengecil. Begitu juga rumah Nenek, terutama satu kamar yang dulu ditiduri saya, abang Eka dan Gadis.
Dulu, di kamar seluas sekitar 2 X 3 meter itu ada sebuah kasur tempat saya, Bang Eka dan Gadis tidur. Kasur kapuk berukuran 1,60 X 1,80 cm itu diletakan di salah satu sudut kamar.
Kemudian, di kamar itu ada meja belajar Bang Eka yang dirapatkan dengan ujung tempat tidur. Furniture terakhir yang ada di kamar kami itu adalah rak baju sederhana dari plastik.
Kamar itu, dulu begitu luas untuk kami. Di situ kami bisa belajar, becanda dan bahkan berkelahi untuk hal-hal tidak penting.
Sekarang, kamar itu ditempati oleh saudara kami, Indah, anak terkecil dari Uwa No. tampak sumpek, kecil dan pengap. Rasanya, ada keterbatasan jika ingin melakukan apapun di ruangan ini.
Tempat tidur kayu dimana kami sering loncat-loncat kegirangan, kini tak ada lagi. Hanya sebuah kasur digelar di lantai.
Cuma meja belajar yang masih ada di kamar itu. Rak baju kami sudah dipindahkan nenek ke ruang makan dan difungsikan sebagai tempat penyimpan makanan.
Yang juga mengecil adalah empang [kolam ikan] Nenek dan Uwa yang letaknya berdampingan. Semasa kecil, empang yang berisi berbagai macam ikan ini tampak sangat luas. Saya kerap ketakutan apabila melintas di jalan kecil di antara dua empang itu.
Di rumah Nenek, air masih diambil dari dalam sumur. Kami harus menimba jika ingin mandi, buang air dan mencuci. Dulu, saya selalu malas ketika dapat giliran menimba air untuk memenuhi bak mandi. Berat. Sangat berat dan melelahkan.
Tadi sore, ketika saya mandi dan harus mengisi bak, saya menimba dengan semangat.
"Kok enteng ya?" Gumam saya.
Saking semangatnya, setelah mandi, saya kembali mengisi bak mandi. Sangat bersemangat menarik karet timba yang melingkar di kerel berkarat, sampai-sampai salah satu ember timba copot dan tertinggal di dalam sumur.
Semua di desa ini tampak kecil karena saya semakin besar. Saya bertumbuh, berkembang. Semua yang dulu luas, besar, jauh, dengan ukuran badan saya yang sekarang, tentu menjadi kecil.
Apalagi saya yang sekarang tinggal di Jakarta, menyaksikan hal-hal yang jauh lebih besar, lebih luas, lebih jauh. Jadi rasanya wajar jika desa yang ikut membangun pribadi saya ini tampak mungil.
Comments
Post a Comment