Mad Limi

Madlimi adalah nama seorang bapak tua di dekat rumah Nenek di Desa Banjaranyar, Purwokerto.

Madlimi merupakan andalan desa ini. Tanpa Madlimi, warga mungkin saja lupa sahur. Lupa menjalankan shalat lima waktu.

Madlimi adalah bilal, muazin di Masjid Al- Ishlah, sebelah rumah Nenek.

Dua hari lalu, pukul 3 pagi, saat saya dan keluarga tiba di rumah, Masjid tampak ramai. Ibu-Ibu bermukena bersiap pulang setelah mengaji.

Setelah para Ibu meninggalkan Masjid, suara seorang pria muncul dari pengeras suara.

"Ibu-Ibu, Bapak-Bapak, sahur-sahur. Jangan lupa niat puasanya. Niat ingsun puoso ing dina ngesuk karna Allah Taalla," kata pria itu.

Mendengar suara itu, saya dan adik saya saling memandang. Senyum merekah di wajah lelah kami.

"Madlimi. Hahaha," kata kami bersamaan yang dilanjutkan dengan tawa.

Siapa yang bisa lupa pada Madlimi. Muazin masjid yang sangat seregep mengabdi pada masyarakat Banjaranyar.

Entah sejak kapan dia sudah menjalani profesi ini. Yang jelas, saat saya kelas empat SD, Madlimi sudah bertugas mengingatkan orang untuk mendatangi rumah Tuhan.

Banyak sekali kisah lucu dengan Madlimi. Kami kadang suka kesal dan tidak mensyukuri anugrah tinggal di samping masjid.

Kami justru terkadang merasa kesal dan terganggu. Di sini, setiap kali shalat, maka Adzan akan dikumandangkan. Dan kami kerap menyalahkan Madlimi atas hal itu.

Pernah satu kali [sepertinya pada malam takbiran] Bang Eka merasa sangat kesal pada Madlimi. Pasalnya saat itu dia sedang sakit gigi dan Madlimi sepanjang malam terus menerus melafalkan puja-puji terhadap Tuhan dan Nabi.

Saya ingat betul, Bang Eka mengumpat dan mengatai Madlimi. Semakin malam, shalawat Nabi makin kencang dinyanyikan.

"Berisik! Woi, diam woi!" kata Bang Eka saat itu.

Sayang, Bang Eka tidak ikut pulang kampung. Kalau dia di sini, ia pasti akan tertawa mengingat masa lalu bersama Madlimi.

Setelah Madlimi mengingatkan warga Banjaranyar untuk sahur, Madlimi mampir ke rumah Nenek.

Ia menyadari kehadiran kami. Bapak langsung dipeluk erat oleh Madlimi. Pelukan sahabat yang sudah sekian lama tak bertemu.

Saya dan adik bersalaman dengannya sembari diam-diam tertawa. Dengan bersemangat, Madlimi bertanya soal perjalanan Jakarta - Purwokerto. Dan tak lupa menanyakan orang yang dulu pernah mengumpat tentang dirinya; Bang Eka.

"Ekane sih ngendi. Ora ikut? [Eka mana? Tidak ikut?]," tanya Madlimi.

Kalau dulu saya kesal dengan Madlimi, sekarang saya justru mengaguminya. Hebat, loyalitas dan pengabdiannya untuk warga ini luar biasa.

Bayangkan, ia rela bangun lebih awal untuk mengingatkan orang sahur. Lalu Madlimi pun imsyak lebih awal dibandingkan orang lainnya karena ia harus menyetel radio pengumuman imsyak yang didengarkan ke seluruh desa.

Demikian juga saat buka puasa. Madlimi harus menabuk beduk lalu mengumandangkan adzan. Mungkin Madlimi rela hanya berbuka dengan air putih. Setelah adzan selesai ia baru melengkapi buka puasanya.

Saya yakin Madlimi ini adalah tipe orang yang dicintai Tuhan. Semoga Tuhan selalu memberkati Madlimi. Tak tahu siapa yang akan gantikan Madlimi, jika ia tak ada.


Comments