Semalam saya merasa kangen. Bukan kangen untuk jalan-jalan, kangen makan sesuatu atau kangen diving.
Saya rindu pada seseorang. Pria yang sudah menjadi kawan sejak saya masih berada di tingkat dua kuliah.
Sudah hampir seminggu saya tak berkomunikasi dengannya. Jumat pekan lalu adalah terakhir kalinya. Tak tahu kenapa dia mendadak menghilang dari hidup saya.
Saya rindu, sapaan hangatnya setiap pukul dua siang. Saya rindu percakapan bodoh sepanjang hari dengannya. Saya rindu melihatnya memakai jas hitam. Saya rindu senyum malu-malunya ketika saya mulai membuat lelucon konyol.
Kangen saya pada antusiasme dia saat mengetik. Menekan tombol enter penuh semangat sampai tangannya melayang di udara.
Kangen menatap wajah tampannya. Kombinasi sempurna antara muka lonjong, mata tajam, hidung mancung dan bibir tipisnya.
Terakhir kali bertatap muka, entah itu Rabu atau Kami minggu lalu, saya lupa.
Dia duduk di kamarnya. Tampak lesu dan tak bertenaga. Tampak sekali gurat kelelahan dari mata, rambut dan dagunya.
"I haven't shaved," katanya menanggapi pernyataan saya bahwa dia terlihat kelelahan.
Saya mencoba membangun moodnya. Dengan melontarkan candaan soal jasnya.
Ini hanya jas biasa, katanya. Di luar, suhunya 5 derat, jelasnya.
Tapi bukankah sekarang sedang musim semi?? Saya lupa apa musim semi dalam Bahasa Belanda.
"Lente," jawab dia.
Saya pun mulai menyenandungkan lagu berjudul Het Is Altijd Lente milik Paul de Leeuw, musisi asal Belanda.
Mendengar saya bersenandung, dia ikut menyanyikan lagu tersebut, bersahut-sahutan. Tawa mengembang di wajahnya.
Malam itu, kami akhirnya membicarakan soal musik. Saya menunjukan CD kompilasi musisi lawas Belanda. Dia membaca lekat-lekat setiap lagu yang ada di CD itu dan mengomentarinya.
"Kamu belajar dengan baik saat kuliah dulu," katanya memuji pengetahuan saya soal musik Belanda.
Saya tergila-gila dengan musik Belanda, dia justru sebaliknya. Pria berdarah campuran ini lebih suka mendengarkan musik dari Italia.
"Per Dimenticari van Zero Assulto," ia mencontohkan salah satu lagu dari musisi favoritnya.
Copy paste ke youtube, saya bisa langsung menemukannya. Saya mainkan dan mendengarkan selera musiknya.
"Cepat sekali (menemukan lagunya)," katanya sembari menggoyang-goyangkan kepalanya.
"Ayo nyanyi dong," pinta saya.
Dia tersipu malu, dan menolak pemintaan saya.
"Please, nyanyi sedikit aja," paksa saya.
Masih tersipu, kepalanya terus bergoyang mengikuti irama lagu bertempo cepat itu.
Dan akhirnya... Dia pun bernyanyi sembari tersipu. Wajahnya dipalingkan ke saya setiap kali ia menyanyikan penggalan lirik lagu yang dalam Bahasa Inggris berarti in order to forget you.
"Sudah-sudah," katanya, "Saya harus kembali bekerja."
"Aaah, saya masih ingin melihat kamu. Gimana kalau kamu bekerja tapi biarkan saya melihatmu bekerja," saya mencari cara untuk tetap bisa menatapnya.
"Lain kali lebih lama," janjinya.
"Kamu kerjanya pakai komputer?" Pertanyaan bodoh. Sudah pasti dia bekerja dengan komputer, "Ya sudah, minimize saja jendela skype-nya dan kamu kembali bekerja. Saya janji nggak gangguin kamu bekerja."
"Tidak. Saya tidak bisa bekerja kalau kamu masih ada. Saya akan terus memandangi kamu," kaya dia.
Dia menghilang. Layar menghitam. Agak kecewa dengan singkatnya waktu pertemuan, namun cukup membuat saya bahagia.
Setelah itu, hanya sekali kami mengobrol. Dia tak muncul lagi. Saya merindukannya. Kemarin. Semalam. Tapi hari ini tidak.
Saya rindu pada seseorang. Pria yang sudah menjadi kawan sejak saya masih berada di tingkat dua kuliah.
Sudah hampir seminggu saya tak berkomunikasi dengannya. Jumat pekan lalu adalah terakhir kalinya. Tak tahu kenapa dia mendadak menghilang dari hidup saya.
Saya rindu, sapaan hangatnya setiap pukul dua siang. Saya rindu percakapan bodoh sepanjang hari dengannya. Saya rindu melihatnya memakai jas hitam. Saya rindu senyum malu-malunya ketika saya mulai membuat lelucon konyol.
Kangen saya pada antusiasme dia saat mengetik. Menekan tombol enter penuh semangat sampai tangannya melayang di udara.
Kangen menatap wajah tampannya. Kombinasi sempurna antara muka lonjong, mata tajam, hidung mancung dan bibir tipisnya.
Pic from here |
Dia duduk di kamarnya. Tampak lesu dan tak bertenaga. Tampak sekali gurat kelelahan dari mata, rambut dan dagunya.
"I haven't shaved," katanya menanggapi pernyataan saya bahwa dia terlihat kelelahan.
Saya mencoba membangun moodnya. Dengan melontarkan candaan soal jasnya.
Ini hanya jas biasa, katanya. Di luar, suhunya 5 derat, jelasnya.
Tapi bukankah sekarang sedang musim semi?? Saya lupa apa musim semi dalam Bahasa Belanda.
"Lente," jawab dia.
Saya pun mulai menyenandungkan lagu berjudul Het Is Altijd Lente milik Paul de Leeuw, musisi asal Belanda.
Mendengar saya bersenandung, dia ikut menyanyikan lagu tersebut, bersahut-sahutan. Tawa mengembang di wajahnya.
Malam itu, kami akhirnya membicarakan soal musik. Saya menunjukan CD kompilasi musisi lawas Belanda. Dia membaca lekat-lekat setiap lagu yang ada di CD itu dan mengomentarinya.
"Kamu belajar dengan baik saat kuliah dulu," katanya memuji pengetahuan saya soal musik Belanda.
Saya tergila-gila dengan musik Belanda, dia justru sebaliknya. Pria berdarah campuran ini lebih suka mendengarkan musik dari Italia.
"Per Dimenticari van Zero Assulto," ia mencontohkan salah satu lagu dari musisi favoritnya.
Copy paste ke youtube, saya bisa langsung menemukannya. Saya mainkan dan mendengarkan selera musiknya.
"Cepat sekali (menemukan lagunya)," katanya sembari menggoyang-goyangkan kepalanya.
"Ayo nyanyi dong," pinta saya.
Dia tersipu malu, dan menolak pemintaan saya.
"Please, nyanyi sedikit aja," paksa saya.
Masih tersipu, kepalanya terus bergoyang mengikuti irama lagu bertempo cepat itu.
Dan akhirnya... Dia pun bernyanyi sembari tersipu. Wajahnya dipalingkan ke saya setiap kali ia menyanyikan penggalan lirik lagu yang dalam Bahasa Inggris berarti in order to forget you.
"Sudah-sudah," katanya, "Saya harus kembali bekerja."
"Aaah, saya masih ingin melihat kamu. Gimana kalau kamu bekerja tapi biarkan saya melihatmu bekerja," saya mencari cara untuk tetap bisa menatapnya.
"Lain kali lebih lama," janjinya.
"Kamu kerjanya pakai komputer?" Pertanyaan bodoh. Sudah pasti dia bekerja dengan komputer, "Ya sudah, minimize saja jendela skype-nya dan kamu kembali bekerja. Saya janji nggak gangguin kamu bekerja."
"Tidak. Saya tidak bisa bekerja kalau kamu masih ada. Saya akan terus memandangi kamu," kaya dia.
Dia menghilang. Layar menghitam. Agak kecewa dengan singkatnya waktu pertemuan, namun cukup membuat saya bahagia.
Setelah itu, hanya sekali kami mengobrol. Dia tak muncul lagi. Saya merindukannya. Kemarin. Semalam. Tapi hari ini tidak.
Comments
Post a Comment