This is it. 20 Februari, Hari Inspirasi. Hari dimana saya akan menginspirasi anak-anak SD Bibis Wetan melalui profesi saya sebagai Jurnalis.
Saya dan Arini si rekruter sudah bangun jam setengah enam pagi. Kami bersiap, mandi, dandan dan membawa seluruh perlengkapan mengajar. Nggak lupa packing karena hari ini juga kami check out dari Wisma Tari Institut Seni Solo (ISS).
Dengan menggunakan angkutan umum, semacam bis, saya dan Arini berangkat menuju SD Bibis Wetan. Di sekolah tersebut sudah ada Mba Dessy dan Mega. Keduanya merupakan relawan yang berasal dari luar Solo. Mba Dessy dari Jakarta dan Mega dari Semarang.
Sudah hampir pukul tujuh belum semua relawan hadir. Sembari menunggu relawan komplit, Kepala Sekolah mengajak murid-muridnya untuk berkumpul dan mendengarkan penjelasannya soal kehadiran kami.
Saat upacara, Pak Kepala Sekolah meminta anak-anak untuk menyanyikan Indonesia Pusaka. Merinding mendengar lagu tersebut dinyanyikan secara bersama-sama. Selanjutnya, relawan diminta memperkenalkan diri satu per satu. Hampir semua relawan kompak hanya bersedia menyebutkan nama. Sementara profesi dirahasiakan karena akan dijelaskan di dalam kelas.
Murid-murid digiring masuk ke dalam kelas. Semua relawan bersiap dengan materi ajarnya. Saya yang cuma mempersenjatai diri dengan karton dan kertas warna-warni menuju kelas pertama, yaitu Kelas 4. Tarik nafas panjang. Bismillah semoga Bu Guru Rizky bisa memberikan inspirasi kepada anak-anak SD Bibis Wetan.
Kelas 4 terletak di ujung gedung SD Bibis Wetan. Konon kelas ini paling bandel dan berisik. Pffh, sungguh tertantang untuk menaklukan anak-anak ini. Eh, deg-degan juga sih. Saya meletakan langkah pertama saya di kelas 4. Situasi kelas saat itu ramai riuh rendah. Saya menyapa dan dibalas dengan semangat yang luar biasa.
Sebagai icebreaking, saya minta mereka menebak nama saya. Beberapa anak masih ingat dengan nama saya. Begitu saya tanya profesi saya, mereka mulai menebak-nebak. Karena mereka sebagian besar tidak tahu profesi saya (walaupun sebenarnya di nametag yang mengalung di leher saya terpampang jelas saya adalah seorang reporter), saya punya cara unik untuk menarik rasa penasaran mereka.
"Ada yang tahu Superman?" Mereka menjawab dengan semangat. Semakin antusias karena saya menunjukan foto Superman dari iPad saya. Mereka maju ingin melihat sosok superman (atau ingin mengagumi iPad saya) dari dekat.
"Ada yang tahu Superman kerjanya apa sih?" saya bertanya lagi sambil berkeliling kelas, masih menunjukan gambar Superman.
"Pahlawan Bu. Pembela Kebenaran," mereka bersahut-sahutan memberikan jawaban.
"Betul. Tapi itu kan kalau dia lagi jadi Superman. Coba kalau dia nggak lagi jadi Superman, kerjaannya apa ya?" Semua kompak diam. Saya tunjukan foto Superman yang tidak berseragam. Dia memakai pakai normal dan memegang sebuah buku catatan kecil dan pulpen.
"Itu lho Bu yang cari berita," komentar seorang anak. Saya mengamini dan mulai menjelaskan bahwa profesi saya sama seperti Superman, yaitu mencari berita.
Selanjutnya saya menunjukan gambar-gambar yang merujuk pada profesi sebagai seorang jurnalis sembari memberikan penjelasan. Oh ya, nggak lupa saya mengajarkan mereka untuk melakukan Superman Whooozz, semacam gerakan untuk membangkitkan energi manakala mereka sudah lemas dan tak bersemangat.
Saya ajak mereka untuk praktek langsung sebagai reporter. Saya minta empat siswa untuk bermain peran. Namun semuanya ingin mencoba simulasi menjadi reporter. Mereka berebut maju minta dipilih untuk berpura-pura menjadi reporter.
Terpaksa saya hanya memilih empat anak. Tiga anak, saya pinjami Blackaberry dan kamera saya. Satu anak lainnya saya minta jadi artis. Supaya mereka makin bersemangat, saya bertanya ke kawan-kawan sekelasnya siapa artis yang pantas untuk diperankan oleh anak tersebut.
Karena masih kelas 4 maka pilihan artis jatuh pada personil Cowboy Junior yang saya tidak tahu namanya. Di kelas 1-3 memilih artis yang sama. Hanya di kelas lima mereka menjadikan temannya sebagai Raffi Ahmad dan Pemain Sepak Bola asal Belanda, Robin Van Persie.
Nah, di kelas 5 ini proses main peran sebagai reporter lebih menarik, karena para reporter cilik ini cukup kritis dalam mengajukan pertanyaan. Persis pertanyaan yang diajukan reporter sungguhan. Saking kreatifnya, saat lakon wawancara "Robin Van Persie", saya dimasukan dalam permainan peran tersebut. Saya disuruh berpura-pura menjadi pacarnya.
Di setiap akhir proses mengajar, saya mengajak anak-anak tersebut untuk membuat berita sederhana. Secara berkelompok mereka saya tugasi membuat satu cerita dengan tema bebas. Masing-masing anak harus menyumbangkan minimal satu kalimat dalam tulisannya tersebut.
Lucu banget, ada yang bercerita soal kehadiran saya dan pelajaran yang saya berikan. Ada yang menuliskan soal kegiatannya menonton bola, pergi ke mall dan menceritakan soal kecintaan mereka pada artis idolanya. Bahkan, ada satu grup yang menuliskan puisi. Aah, Bu Rizky jadi GR nih!!!
Berani Bermimpi?
Bagian terseru dari proses mengajar anak-anak SD Bibis Wetan adalah saat mereka (lagi-lagi) berebut menyebutkan cita-cita mereka. Guru, tentara, fotografer, dokter, penyanyi, pembalap, pemain bola dan masinis. Bahkan ada seorang murid, dia favorit saya, namanya Ivo, kelas 3 SD. Cita-citanya ingin menjadi pemain barongsai.
Oh ya, di sesi mengobrolkan cita-cita, beberapa anak sempat bertanya sebuah pertanyaan yang membuat saya teringat dengan kata-kata Pak Anies Baswedan, Penggagas Program Indonesia Mengajar, saat briefing dulu. Anak tersebut bertanya: "Bu, saya boleh tidak jadi Guru Bahasa Inggris?"
"Boleh dong. Kamu boleh jadi apapun. Kamu harus berusaha, berjuang dan bekerja keras untuk jadi apa yang kami inginkan,"
Pak Anies benar. Pertanyaan ini secara tidak langsung menunjukan bahwa bermimpi untuk sebagian anak-anak hanya sebagai mimpi. Bahkan ada ana-anak Indonesia yang tidak berani bermimpi. It leads to frustration, kata Pak Anies.
Okay, masih soal cita-cita, saya tanyakan mengapa mereka ingin melakoni profesi tersebut di masa depan. Jawabnya bermacam-macam. Ada yang karena ingin membantu orang lain, ada yang karena profesi tersebut adalah profesi orang tuanya.
Nah, intinya sih mereka bermimpi menjadi tentara, masinis, guru dan sebagainya karena mereka kenal dengan profesi tersebut. Profesi itu nyata dijalani oleh orang tua maupun keluarganya. Ataupun karena mereka pernah berhubungan dengan profesi tersebut. Misalnya dokter.
Itulah referensi mereka dalam memimpikan profesi idamannya. Sementara profesi lainnya, seperti dokter juga dipilih karena profesi tersebut banyak ditampilkan di televisi, koran dan lainnya. Nah, program Kelas Inspirasi ini tepat sekali untuk menambah referensi cita-cita mereka.
Bayangkan, dalam program ini, sebanyak lebih dari 600 orang dari berbagai macam profesi yang berbeda ikut serta. Tak hanya profesi umum seperti guru, dokter, polisi, wartawan dan pegawai kantoran. Koki, rekruter, apoteker dan bahkan seorang pelatih yoga turut ambil bagian dalam program ini.
Kelas Inspirasi tak hanya memperkaya referensi profesi yang akan mereka jalani di masa depan. Di sini, para relawan tidak hanya mempresentasikan profesinya, tapi juga membagi cerita bagaimana mereka mengejar cita-citanya. Perjuangan tiada henti, kerja keras, tidak mudah menyerah dalam mencapai apa yang diimpikan.
Kami para relawan juga menceritakan buah yang kami petik dari hasil perjuangan mengejar cita-cita. Selain tentunya materi, kami jelaskan kepada adik-adik tersebut bahwa dengan pekerjaan tersebut kami berkesempatan menjejakan kaki di luar negeri. Berkawan dan bergaul dengan orang-orang dari berbagai negara. Menjadi warga dunia. Semoga apa yang cerita kami menjadi inspirasi anak-anak generasi penerus bangsa.
Terinspirasi
Kelas Inspirasi bukan hanya relawan yang menginspirasi para bocah-bocah tersebut. Di sini, kami juga diinspirasi oleh sesama relawan, para guru dan tentunya anak-anak kecil tersebut. Guru, ya Allah, mereka itu ya luar biasa. Terdengar klise kalau saya bilang saya bukan apa-apa tanpa mereka. Tapi begitulah kenyataannya. Sungguh, jika tidak ada peran guru dalam hidup kita yang membagi ilmu dan memberikan semangat (well, beberapa guru saya semasa SMP ada yang menyebalkan sih) mungkin saya nggak bisa jadi seperti sekarang.
Salut terutama pada Guru kelas 1 SD yang bisa mengkondisikan anak-anak itu untuk kembali tenang saat saya mengajar. Walaupun saya juga sebenarnya seorang guru (untuk orang asing), saya tetap saja kewalahan menangani anak-anak kelas 1 yang berlarian dan berteriak-teriak selama saya saya mengajar. Untung ada si Guru yang memberitahu bagaimana menangani anak-anak tersebut. Terima kasih banyak, Bu.
Sebenarnya kewalahan itu terjadi tidak hanya di kelas 1. Hampir di semua kelas saya kewalahan mengendalikan anak-anak tersebut. Terlebih di kelasnya Ivo, kelas 3. Ivo yang memang dikenal sebagai pentolan kelas dan lumayan bandel itu berkelahi dengan seorang temannya.
Seorang kawan Ivo tampaknya merasa terganggu dengan apa yang dilakukan bocah bermata sipit tersebut. Ivo diminta diam, namun Ivo malah menanggapinya dengan mengajak adu otot. Maka berkelahilah mereka berdua. Saya lerai keduanya. Ivo saya peluk dan saya suruh duduk di kursi guru. Dia menutup wajahnya lalu menangis. Saya beri makanan agar dia tidak menangis, namun Ivo bergeming. Dia tetap menangis. Lagi-lagi guru menyelamatkan saya. Ivo akhirnya tidak menangis lagi dan kembali jadi jagoan di kelasnya.
Terbanglah Mimpi-Mimpiku
Mungkin sudah menjadi tradisi di Kelas Inspirasi, di akhir proses belajar-mengajar, anak-anak tersebut akan diberikan balon untuk ditempeli cita-cita dan kemudian dilepas secara bersama-sama. Ternyata, acara pelepasan balon bukan sekadar seremonial belaka. Jadi ya, balon ini adalah pengikat anak-anak tersebut untuk bertahan di sekolah sampai acara Kelas Inspirasi selesai.
Beberapa kelas semestinya sudah pulang sejak pukul 10.00 WIB. Namun karena acara ini, mereka terpaksa pulang hingga pukul 12.00 WIB. Nah, dengan diiming-imingi balon ini mereka mau menunggu hingga acara usai.
Oh ya, ada kejadian menarik saat balon gas yang berjumlah 180 buah itu bawa ke halaman sekolah. Sontak seluruh anak kelas 1 berhamburan keluar kelas. Padahal di kelas tersebut ada relawan yang tengah mengajar. Guru kelas tersebut pun mengancam kalau tidak kembali, mereka tidak akan mendapatkan balon. Serempak, anak-anak itu masuk lagi ke dalam kelas.
Proses menuju pelepasan balon ini juga menarik. Saya kebetulan mengajar di kelas 5. Saya mengkoordinir anak-anak tersebut untuk menuliskan cita-citanya di dua lembar post it. Setelah cita-cita ditulliskan dan sembari menunggu balon, kami berfoto bersama. Saya kemudian menggiring anak-anak tersebut ke halaman untuk mengikuti prosesi pelepasan balon.
Tidak semua anak mendapatkan balon. Terpaksa dalam satu balon ditempeli post it cita-cita beberapa anak. Nah, prosesi pelepasan balon segera dimulai. Dengan komando dari Pak Imam Subhan anak-anak melepaskan balon cita-cita tersebut. Terbang tinggi balon. Terbang tinggi cita-citaku.
Pelepasan balon itu menandai selesainya Kelas Inspirasi. Namun, tak berarti selesai pula hubungan saya dengan para relawan, SD Bibis Wetan dan anak-anak tersebut. Ini justru sebuah awal atas hubungan jangka panjang dengan mereka. Kami berkomitmen untuk terus menjalin silahturahmi.
Tak lupa, kami pun tergugah untuk melakukan kegiatan serupa. Beberapa relawan Solo asal Jakarta sudah merancang kegiatan sejenis di Jakarta. Kawan saya Ratna, setelah mendengar cerita saya juga mengajak saya untuk mengajar di rumah baca milliknya di Tasikmalaya. Tentu saya tidak menolak tawaran itu. Dan yang harus segera direalisasikan adalah rencana saya mengajar Bahasa Inggris anak-anak di Stasiun Gambir. Mudah-mudahan bisa terlaksana. Amin.
Foto: Milik Mas Yanuar- Solo Mengajar
Comments
Post a Comment