Jika hidup adalah sebuah lomba marathon, ada kalanya kita butuh berjalan santai. Melemaskan otot kaki yang kaku, mengatur nafas atau sekedar minum menghilangkan dahaga.
Setahun terakhir, hidup saya persis seperti lari marathon. Diburu waktu dan ketergesaan. Menjalani dua profesi; reporter dan guru dalam waktu bersamaan benar-benar membuat saya bernafas terengah, fisik melemah, pikiran terbelah.
Awalnya menyenangkan. Terlebih dengan iming-iming uang. Lumayan untuk menambah tabungan. Tak hanya melulu uang, perkawanan dengan murid-murid saya juga begitu menyenangkan. Berbagi cerita sehari-hari, berdiskusi dan mengetahui cara pandang orang asing terhadap banyak hal.
Tak kalah penting adalah melatih kemampuan saya dalam berbahasa Inggris. Ini poin terpenting. Dengan mengajar orang asing, meluntur rasa malu dan kurang kepercayaan diri saya ketika berbicara dalam bahasa Inggris.
Tapi, manakala murid melebihi lima orang, saya pusing bukan kepalang. Berangkat pukul enam untuk mengejar ajar jam tujuh. Setengah sembilan, saat satu kelas selesai, saya berlari ke lokasi mengajar lainnya. Kira-kira baru pukul 11.00 saya merampungkan kewajiban saya mengajar pagi.
Saya berganti profesi menjadi reporter. Jam empat sore, saya harus meninggalkan lokasi liputan, dua murid sudah menunggu untuk belajar Bahasa Indonesia. Pukul tujuh, saya beranjak lagi ke apartemen murid di daerah kuningan. Kelas belajar terakhir. Sekitar pukul 10 saya baru menyelesaikan kegiatan saya. Perjalanan ke rumah sekitar satu jam, jadi pukul 11 saya baru bisa beristirahat.
Jangan lupakan hari Sabtu. Saya masih harus mengajar pagi yang diikuti dengan tugas liputan. Namun, hal itu tidak terjadi setiap hari. Hanya beberapa hari dalam seminggu.
Dua pekan lalu saya memutuskan mundur dari dunia mengajar. Berat sesungguhnya untuk melepaskan profesi ini. Saya suka menjalaninya. Tapi, saya butuh istirahat. Saya perlu waktu untuk menata hidup, mengumpulkan kepingan mimpi yang berserakan.
Saya pun merasa bersalah dengan profesi jurnalis yang seolah saya nomor duakan. Saya terkadang mementingkan mengajar tinimbang liputan. Bahkan, liputan Sabtu pagi saya lewatkan demi mengajar dua murid saya.
Saya hanya rehat. Ini hanya sejenak. Pada saatnya nanti, ketika urusan yang tertunda selama ini sudah selesai. Saat saya sudah bosan berjalan, mungkin saya akan kembali berlari.
Setahun terakhir, hidup saya persis seperti lari marathon. Diburu waktu dan ketergesaan. Menjalani dua profesi; reporter dan guru dalam waktu bersamaan benar-benar membuat saya bernafas terengah, fisik melemah, pikiran terbelah.
Awalnya menyenangkan. Terlebih dengan iming-iming uang. Lumayan untuk menambah tabungan. Tak hanya melulu uang, perkawanan dengan murid-murid saya juga begitu menyenangkan. Berbagi cerita sehari-hari, berdiskusi dan mengetahui cara pandang orang asing terhadap banyak hal.
pic from therawness.com |
Tak kalah penting adalah melatih kemampuan saya dalam berbahasa Inggris. Ini poin terpenting. Dengan mengajar orang asing, meluntur rasa malu dan kurang kepercayaan diri saya ketika berbicara dalam bahasa Inggris.
Tapi, manakala murid melebihi lima orang, saya pusing bukan kepalang. Berangkat pukul enam untuk mengejar ajar jam tujuh. Setengah sembilan, saat satu kelas selesai, saya berlari ke lokasi mengajar lainnya. Kira-kira baru pukul 11.00 saya merampungkan kewajiban saya mengajar pagi.
Saya berganti profesi menjadi reporter. Jam empat sore, saya harus meninggalkan lokasi liputan, dua murid sudah menunggu untuk belajar Bahasa Indonesia. Pukul tujuh, saya beranjak lagi ke apartemen murid di daerah kuningan. Kelas belajar terakhir. Sekitar pukul 10 saya baru menyelesaikan kegiatan saya. Perjalanan ke rumah sekitar satu jam, jadi pukul 11 saya baru bisa beristirahat.
Jangan lupakan hari Sabtu. Saya masih harus mengajar pagi yang diikuti dengan tugas liputan. Namun, hal itu tidak terjadi setiap hari. Hanya beberapa hari dalam seminggu.
Dua pekan lalu saya memutuskan mundur dari dunia mengajar. Berat sesungguhnya untuk melepaskan profesi ini. Saya suka menjalaninya. Tapi, saya butuh istirahat. Saya perlu waktu untuk menata hidup, mengumpulkan kepingan mimpi yang berserakan.
Saya pun merasa bersalah dengan profesi jurnalis yang seolah saya nomor duakan. Saya terkadang mementingkan mengajar tinimbang liputan. Bahkan, liputan Sabtu pagi saya lewatkan demi mengajar dua murid saya.
Saya hanya rehat. Ini hanya sejenak. Pada saatnya nanti, ketika urusan yang tertunda selama ini sudah selesai. Saat saya sudah bosan berjalan, mungkin saya akan kembali berlari.
Hidup harus memilih ya boy!!!! Fokuuuusss will deliver us to be success
ReplyDelete