Saya betah berada di Gili Trawangan. Meski waktu berjalan lambat, namun saya tetap bisa menikmati tiap detiknya. Ini rutinitas pagi saya di Gili. Bangun tidur, mandi, sarapan dan berbincang dengan sesama tamu hotel, lalu berkeliling Gili dengan sepeda.
Setiap toko yang saya lewati, para penjaganya selalu ramah menyapa saya. Mereka tahu saya orang lokal. Maka mereka menyapa saya dengan Bahasa Indonesia.
"Selamat pagi mba," sapa mereka ramah.
Beda dengan bule-bule yang di pagi hari jogging mengelilingi Gili Trawangan. Kalau yang cowo, nggak pakai baju dan celananya melorot sampai pinggul. Nggak lupa earphone nyantol di kuping mereka, supaya acara joggingnya menyenangkan. Aaah iri..iri. Padahal sih sudah diniatkan untuk jogging tiap pagi. Tapi apalah daya, saya terlalu cinta sama bantal.
Oke, hari ini saya sudaah booking untuk snorkeling trip. Rp100 ribu untuk tiga spot snorkeling plus mengunjungi Gili Air. Masuk akal lah harganya. Cuma, ya memang biasa saja tuh keanekaragaman laut di kepulauan Gili ini. Nggak terlalu spesial. Saat snorkeling saya sempat bertemu dua kura-kura. Kemudian, tanpa kami sadari, kami snorkeling dari Gili Air ke Gili Meno. Kata instrukturnya, kami terbawa arus. Makanya bisa sejauh itu.
Saat singgah di Gili Air, kami sebetulnya cuma mau makan siang. Saya sudah membekali diri dengan burger dari Bale Sasak. Tapi si burger terendam air, alhasil sudah tak layak konsumsi.
Karena lapar luar biasa, saya memesan makanan. Dan tebak apa makanan yang saya pesan: Mie Goreng Ayam. Saya berharap amat sangat bahwa Mie Goreng yang dijual di cafe itu mirip dengan mie tek-tek di Jakarta. Tapi, ternyata jauh dari harapan saudara-saudara. Yang saya dapat justru Mie Goreng Sedap dengan bola-bola kresnya plus buncis wortel dan potongan ayam.
Harga? Bikin nyesek deh pas makannya. Untuk seporsi itu, saya harus bayar seporsi Mie Goreng Sedap sayuran dan ayam Rp50 ribu. Mahal amat sangat. Sedih banget plus nggak rela pas bayar itu. Nasi sudah jadi bubur. Ya sudahlah.
Snorkeling kali ini tidak separah waktu di Thailand, dimana saya menjadi gosong dan kulit sampai melepuh. Mungkin karena kali ini rajin membalurkan sunblock sesaat sebelum saya nyemplung untuk snorkeling. Oyaaaa... Saya pakai bikini lho pas snorkeling. Bodo amat deh, perut buncit dan menggelambir. Yang penting pede!! Catat itu!!
Hari-hari saya selebihnya cuma dihabiskan dengan bersepeda dan ngobrol dengan kawan-kawan di Bale Sasak. Menyenangkan lho ngobrol-ngobrol dengan orang-orang di Bale Sasak. Dan gara-gara saya lumayan dekat dengan mereka, saya pun dapat potongan harga menginap. Alhamdulillah ya. Rezeki anak yang baik dan tidak sombong.
Akrab-Ikrib
Sejak tinggal di Bale Sasak, saya langsung akrab dengan pemilik dan pegawainya. Mereka awalnya terkesima sekaligus kasihan sama saya yang sendirian ke pulau ini. Dari situ kami jadi dekat dan sering mengobrol. Terutama soal kehidupan sosial di Gili Trawangan.
Saya berkenalan dengan seorang anak bocah bernama Ryan. Dia bekerja untuk Bale Sasak. Dibawa oleh seorang pegawai Bale Sasak lainnya, Ryan dulu ditelantarkan oleh orang tuanya. Di umurnya yang ke-15, Ryan sudah berhenti sekolah. Konon dia anak yang cerdas, namun dengan alasan keuangan, Ryan tak lagi mengeyam pendidikan.
"Uang SPP bulannya memang gratis, Mba. Tapi uang bangunan sewaktu masuk sekolah, uang seragam sampai uang bukunya kan harus dibayarkan," kata Andi, pemilik Bale Sasak.
Benar juga. Ternyata gembar-gembor sekolah gratis tak seluruhnya benar. Siswa tetap saja dibebani membayar perintilan. Kalau dipikir-pikir, uang bangunan untuk apa ya? Toh, kebanyak sekolah sudah bagus-bagus dan tidak dalam proses pembangunan. Pun jika dalam proses pembangunan, itu menjadi kewajiban pemerintah untuk menutupi biayanya.
Nah, kalau uang seragam. Kenapa nggak disuruh beli sendiri? Kenapa harus dibeli melalui sekolah? Dan terakhir soal buku. Masih aja ya harus selalu baru. Nggak bisa ya bukunya dipinjamkan saja dari sekolah.
Harus saya akhiri cerita saya di sini. Karena kantuk sudah menyergap. Oh ya, dompet egypt oleh-oleh dari Vera raib di kamar. Aaah sedihnya saya. Huhuhuhuuu... semoga bisa dapat gantinya yang lebih bagus. Ikhlas.
-bersambung lagi hari ketiga-
Setiap toko yang saya lewati, para penjaganya selalu ramah menyapa saya. Mereka tahu saya orang lokal. Maka mereka menyapa saya dengan Bahasa Indonesia.
"Selamat pagi mba," sapa mereka ramah.
Beda dengan bule-bule yang di pagi hari jogging mengelilingi Gili Trawangan. Kalau yang cowo, nggak pakai baju dan celananya melorot sampai pinggul. Nggak lupa earphone nyantol di kuping mereka, supaya acara joggingnya menyenangkan. Aaah iri..iri. Padahal sih sudah diniatkan untuk jogging tiap pagi. Tapi apalah daya, saya terlalu cinta sama bantal.
Oke, hari ini saya sudaah booking untuk snorkeling trip. Rp100 ribu untuk tiga spot snorkeling plus mengunjungi Gili Air. Masuk akal lah harganya. Cuma, ya memang biasa saja tuh keanekaragaman laut di kepulauan Gili ini. Nggak terlalu spesial. Saat snorkeling saya sempat bertemu dua kura-kura. Kemudian, tanpa kami sadari, kami snorkeling dari Gili Air ke Gili Meno. Kata instrukturnya, kami terbawa arus. Makanya bisa sejauh itu.
Saat singgah di Gili Air, kami sebetulnya cuma mau makan siang. Saya sudah membekali diri dengan burger dari Bale Sasak. Tapi si burger terendam air, alhasil sudah tak layak konsumsi.
Karena lapar luar biasa, saya memesan makanan. Dan tebak apa makanan yang saya pesan: Mie Goreng Ayam. Saya berharap amat sangat bahwa Mie Goreng yang dijual di cafe itu mirip dengan mie tek-tek di Jakarta. Tapi, ternyata jauh dari harapan saudara-saudara. Yang saya dapat justru Mie Goreng Sedap dengan bola-bola kresnya plus buncis wortel dan potongan ayam.
Harga? Bikin nyesek deh pas makannya. Untuk seporsi itu, saya harus bayar seporsi Mie Goreng Sedap sayuran dan ayam Rp50 ribu. Mahal amat sangat. Sedih banget plus nggak rela pas bayar itu. Nasi sudah jadi bubur. Ya sudahlah.
Snorkeling kali ini tidak separah waktu di Thailand, dimana saya menjadi gosong dan kulit sampai melepuh. Mungkin karena kali ini rajin membalurkan sunblock sesaat sebelum saya nyemplung untuk snorkeling. Oyaaaa... Saya pakai bikini lho pas snorkeling. Bodo amat deh, perut buncit dan menggelambir. Yang penting pede!! Catat itu!!
Hari-hari saya selebihnya cuma dihabiskan dengan bersepeda dan ngobrol dengan kawan-kawan di Bale Sasak. Menyenangkan lho ngobrol-ngobrol dengan orang-orang di Bale Sasak. Dan gara-gara saya lumayan dekat dengan mereka, saya pun dapat potongan harga menginap. Alhamdulillah ya. Rezeki anak yang baik dan tidak sombong.
Akrab-Ikrib
Sejak tinggal di Bale Sasak, saya langsung akrab dengan pemilik dan pegawainya. Mereka awalnya terkesima sekaligus kasihan sama saya yang sendirian ke pulau ini. Dari situ kami jadi dekat dan sering mengobrol. Terutama soal kehidupan sosial di Gili Trawangan.
Saya berkenalan dengan seorang anak bocah bernama Ryan. Dia bekerja untuk Bale Sasak. Dibawa oleh seorang pegawai Bale Sasak lainnya, Ryan dulu ditelantarkan oleh orang tuanya. Di umurnya yang ke-15, Ryan sudah berhenti sekolah. Konon dia anak yang cerdas, namun dengan alasan keuangan, Ryan tak lagi mengeyam pendidikan.
"Uang SPP bulannya memang gratis, Mba. Tapi uang bangunan sewaktu masuk sekolah, uang seragam sampai uang bukunya kan harus dibayarkan," kata Andi, pemilik Bale Sasak.
Benar juga. Ternyata gembar-gembor sekolah gratis tak seluruhnya benar. Siswa tetap saja dibebani membayar perintilan. Kalau dipikir-pikir, uang bangunan untuk apa ya? Toh, kebanyak sekolah sudah bagus-bagus dan tidak dalam proses pembangunan. Pun jika dalam proses pembangunan, itu menjadi kewajiban pemerintah untuk menutupi biayanya.
Nah, kalau uang seragam. Kenapa nggak disuruh beli sendiri? Kenapa harus dibeli melalui sekolah? Dan terakhir soal buku. Masih aja ya harus selalu baru. Nggak bisa ya bukunya dipinjamkan saja dari sekolah.
Harus saya akhiri cerita saya di sini. Karena kantuk sudah menyergap. Oh ya, dompet egypt oleh-oleh dari Vera raib di kamar. Aaah sedihnya saya. Huhuhuhuuu... semoga bisa dapat gantinya yang lebih bagus. Ikhlas.
-bersambung lagi hari ketiga-
"...Sedih banget plus nggak rela pas bayar itu. Nasi sudah jadi bubur. Ya sudahlah."
ReplyDeleteboykeee..jadi, lo sedih karena mie goreng pesenan lo berubah jadi bubur? hahahahaa..
makanyya bawa mie s*dap cup dong, ada bal-bal-nyesssnya :p
di tunggu postingan selanjutnya :)
ReplyDelete