Pekan ini saya kembali meninggalkan Jakarta. Bermodal tiket promo yang dibeli beberapa waktu lalu. Sesungguhnya destinasi yang tertera di tiket itu adalah Surabaya. Bersama empat orang rekan kerja, saya berencana menikmati keindahan alam Gunung Bromo.
Namun, satu persatu peserta berguguran, mundur dari misi Bromo. Ika, yang tetap bersikukuh mempertahankan tiket mengajak saya melintasi pulau Jawa menuju Lombok. Naik gunung Rinjani, niatan Ika.
Sempat terbesit untuk ikut naik gunung Rinjani. Tapi apa daya, magnet pantai begitu kuat. Saya tak bisa mengelak ketika Ika mengusulkan agar saya ke Lombok dan menikmati pantai di pulau-pulau kecil Lombok.
Aha, ide menarik. Saya segera mengeksekusi dengan memesan tiket Surabaya-Lombok. Tiket pulang, saya beli menjelang keberangkatan. Karna tiket Lombok-Jakarta sungguh mahal, sayapun memilih pulang melalui Denpasar.
Selasa, 3 September lalu, saya berangkat bersama Ika. Kawan-kawan penjelajah Rinjani lainnya sudah terbang ke Surabaya (Sidoarjo) lebih awal. Di Bandara Juada, kami bertemu. Semua tampak lelah. Ouya, Bagus, Rahma, Kim dan Wandi sudah bersama seorang kawan lain bernama Resa. Resa lah yang menjadi pemandu kami selama di Sidoarjo.
Saya dan Ika sempat diajak berkeliling Sidoarjo untuk membeli kebutuhan yang tidak sempat terbawa dari Jakarta. Saya begitu menikmati acara belanja Ika untuk memenuhi logistik selama perjalanan menuju puncak Rinjani. Menyenangkan bak belanja bulanan. Ika membeli cabe, bawang, tempe, jagung, piring dan gelas plastik hingga diapers khusus orang dewasa. Pengetahuan baru untuk saya, ternyata naik gunung harus bawa hal-hal demikian. Saya mengira, urusan makan dan segala macam bisa dibeli di sepanjang perjalanan. Ternyata semua harus mengolah sendiri.
Tiba di Lombok Praya International Airport, kami tak langsung berpisah. Saya menunggu Ika dan kawan-kawan mendapatkan kepastian travel menuju Rinjani. Saya, karena tak terburu-buru, asyik mengobrol dengan petugas dinas perhubungan di Bandara.
Sebagai newbie, saya benar-benar buta arah. Menuju homestay di Senggigi saja, saya tak harus naik angkutan apa. Nah, perbincangan dengan Mas Dinas Perhubungan menghasilkan pengetahuan bagaimana menuju homestay dan Gili.
Menuju Senggigi sebenarnya bisa ditempuh dengan menggunakan mobil carter atau taksi. Tapi, untuk pengelana kere macam saya, naiklah bus Damri. Kendaraan umum inilah yang akan mengantar kita hingga Senggigi.
Ressa Homestay. Itu tempat dimana saya bermalam. Letaknya tidak persis d tepi jalan, melainkan menjorok ke dalam. Gang menuju penginapan tersebut cukup seram. Apalagi saya baru-baru ini sedang parno dengan hantu. Maka, malam itu dengan menggendong dua tas, saya berjalan super cepat menuju menembus kegelapan gang.
Sebuah rumah asri yang asli. Itulah impresi pertama saya ketika melewati gerbang Ressa Homestay. Sunyi, hanya ada beberapa tamu malam itu. Seorang pria ramah menyambut saya. Ia langsung mengantar saya ke kamar No.8.
Satu tas punggung dan tas jinjing saya lempar ke kasur. Saya mengistirahatkan punggung yang selama 10 menit dibebani dua tas berisi kebutuhan saya selama di Gili.
Tak berapa lama, mas itu mengetuk kamar dan memberikan secangkir teh manis hangat. Sungguh keramahan si mas dan kehangatan teh membuat saya menjadi rileks.
Selanjutnya saya mandi. Keramas untuk menghilangkan gatal-gatal di kepala saya. Setelah mandi, si mas kembali bertamu. Ia menanyakan berapa lama saya akan tinggal dan kemana tujuan saya.
Mendengar penjelasan saya, si mas mengusulkan agar saya menaiki shuttle bus menuju Pelabuhan Bangsal (untuk menyebrang ke Gili Trawangan). Harga yang ditawarkan lumayan. Rp100 ribu untuk ongkos bus dan biaya kapal.
Sabenarnya saya tidak tahu apakah biaya tersebut tergolong murah atau mahal. Namun satu-satunya kendaraan umum menuju Pelabuhan Bangsal adalah taksi. Perjalanan Senggigi - Bangsal kira-kira ditempuh dalam satu jam. Kemudian sesampainya di Bangsal, membeli tiket kapal untuk menyebrang ke Gili seharga Rp30 ribu.
Saya setuju saja. Si mas kemudian membuatkan kwitansi perjalanan. Selagi menunggu kwitansi, anak pemilik homestay menghampiri saya. Pertama, anak kelas dua SD bernama Rio. Bocah hasil perkawinan silang Indonesia-Jepang ini sungguh lucu. Dia sama sekali tidak canggung untuk bergaul dengan para tamu.
Rio banyak bertanya dan banyak bercerita. Ia tanya dari mana saya berasal, mau kemana, dengan siapa, kerja dimana dan pertanyaan standar lainnya. Giliran Rio yang kemudian menceritakan tentang dirinya, tentang sekolah dan kedua orang tuanya.
Mengetahui Ibunya berasal dari Jepang, saya bercerita kalau saya sudah pernah mengunjungi negeri sakura. Menanggapi cerita saya, Rio mengatakan ia sudah pernah ke Jepang dan sejumla kota besar terkenal dunia lainnya. Terakhir kali, liburan semeseter lalu, Rio dan keluarga berkunjung ke Australia.
Seorang bocah berumur empat tahun diam-diam memperhatikan perbicangan kami dari kejauhan. Perlahan, Ichang, adik Rio mendekati kami. Mulanya pemalu namun dengan sogokan beberapa jelly, Ichang akhirnya bergabung bersama kami. Ichang tak kalah lucu dari Rio. Bocah berponi ini gemar meniru dan menyauti semua omongan kakaknya.
Rio dan Ichang terus berbicara sementara saya sudah mulai mengantuk. Si mas, yang melihat saya sudah kelelahan, akhirnya menyuruh keduanya untuk tidur.
"Besok sekolah siang jam 10. Kelasnya dipakai anak kelas satu. Ruangan di sekolah tak cukup untuk semua murid," kata Rio dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Keduanya akhirnya menurut. Mereka meninggalkan teras depan kamar saya. Dan akhirnya saya pun bisa kembali ke kamar dan membereskan tas. Besok, pukul 08.20 WIB, shuttle bus akan menjemput dan mengantar saya ke Gili.
-bersambung-
Namun, satu persatu peserta berguguran, mundur dari misi Bromo. Ika, yang tetap bersikukuh mempertahankan tiket mengajak saya melintasi pulau Jawa menuju Lombok. Naik gunung Rinjani, niatan Ika.
Sempat terbesit untuk ikut naik gunung Rinjani. Tapi apa daya, magnet pantai begitu kuat. Saya tak bisa mengelak ketika Ika mengusulkan agar saya ke Lombok dan menikmati pantai di pulau-pulau kecil Lombok.
Aha, ide menarik. Saya segera mengeksekusi dengan memesan tiket Surabaya-Lombok. Tiket pulang, saya beli menjelang keberangkatan. Karna tiket Lombok-Jakarta sungguh mahal, sayapun memilih pulang melalui Denpasar.
Selasa, 3 September lalu, saya berangkat bersama Ika. Kawan-kawan penjelajah Rinjani lainnya sudah terbang ke Surabaya (Sidoarjo) lebih awal. Di Bandara Juada, kami bertemu. Semua tampak lelah. Ouya, Bagus, Rahma, Kim dan Wandi sudah bersama seorang kawan lain bernama Resa. Resa lah yang menjadi pemandu kami selama di Sidoarjo.
Saya dan Ika sempat diajak berkeliling Sidoarjo untuk membeli kebutuhan yang tidak sempat terbawa dari Jakarta. Saya begitu menikmati acara belanja Ika untuk memenuhi logistik selama perjalanan menuju puncak Rinjani. Menyenangkan bak belanja bulanan. Ika membeli cabe, bawang, tempe, jagung, piring dan gelas plastik hingga diapers khusus orang dewasa. Pengetahuan baru untuk saya, ternyata naik gunung harus bawa hal-hal demikian. Saya mengira, urusan makan dan segala macam bisa dibeli di sepanjang perjalanan. Ternyata semua harus mengolah sendiri.
Tiba di Lombok Praya International Airport, kami tak langsung berpisah. Saya menunggu Ika dan kawan-kawan mendapatkan kepastian travel menuju Rinjani. Saya, karena tak terburu-buru, asyik mengobrol dengan petugas dinas perhubungan di Bandara.
Sebagai newbie, saya benar-benar buta arah. Menuju homestay di Senggigi saja, saya tak harus naik angkutan apa. Nah, perbincangan dengan Mas Dinas Perhubungan menghasilkan pengetahuan bagaimana menuju homestay dan Gili.
Menuju Senggigi sebenarnya bisa ditempuh dengan menggunakan mobil carter atau taksi. Tapi, untuk pengelana kere macam saya, naiklah bus Damri. Kendaraan umum inilah yang akan mengantar kita hingga Senggigi.
Ressa Homestay. Itu tempat dimana saya bermalam. Letaknya tidak persis d tepi jalan, melainkan menjorok ke dalam. Gang menuju penginapan tersebut cukup seram. Apalagi saya baru-baru ini sedang parno dengan hantu. Maka, malam itu dengan menggendong dua tas, saya berjalan super cepat menuju menembus kegelapan gang.
Sebuah rumah asri yang asli. Itulah impresi pertama saya ketika melewati gerbang Ressa Homestay. Sunyi, hanya ada beberapa tamu malam itu. Seorang pria ramah menyambut saya. Ia langsung mengantar saya ke kamar No.8.
Satu tas punggung dan tas jinjing saya lempar ke kasur. Saya mengistirahatkan punggung yang selama 10 menit dibebani dua tas berisi kebutuhan saya selama di Gili.
Tak berapa lama, mas itu mengetuk kamar dan memberikan secangkir teh manis hangat. Sungguh keramahan si mas dan kehangatan teh membuat saya menjadi rileks.
Selanjutnya saya mandi. Keramas untuk menghilangkan gatal-gatal di kepala saya. Setelah mandi, si mas kembali bertamu. Ia menanyakan berapa lama saya akan tinggal dan kemana tujuan saya.
Mendengar penjelasan saya, si mas mengusulkan agar saya menaiki shuttle bus menuju Pelabuhan Bangsal (untuk menyebrang ke Gili Trawangan). Harga yang ditawarkan lumayan. Rp100 ribu untuk ongkos bus dan biaya kapal.
Sabenarnya saya tidak tahu apakah biaya tersebut tergolong murah atau mahal. Namun satu-satunya kendaraan umum menuju Pelabuhan Bangsal adalah taksi. Perjalanan Senggigi - Bangsal kira-kira ditempuh dalam satu jam. Kemudian sesampainya di Bangsal, membeli tiket kapal untuk menyebrang ke Gili seharga Rp30 ribu.
Saya setuju saja. Si mas kemudian membuatkan kwitansi perjalanan. Selagi menunggu kwitansi, anak pemilik homestay menghampiri saya. Pertama, anak kelas dua SD bernama Rio. Bocah hasil perkawinan silang Indonesia-Jepang ini sungguh lucu. Dia sama sekali tidak canggung untuk bergaul dengan para tamu.
Rio banyak bertanya dan banyak bercerita. Ia tanya dari mana saya berasal, mau kemana, dengan siapa, kerja dimana dan pertanyaan standar lainnya. Giliran Rio yang kemudian menceritakan tentang dirinya, tentang sekolah dan kedua orang tuanya.
Mengetahui Ibunya berasal dari Jepang, saya bercerita kalau saya sudah pernah mengunjungi negeri sakura. Menanggapi cerita saya, Rio mengatakan ia sudah pernah ke Jepang dan sejumla kota besar terkenal dunia lainnya. Terakhir kali, liburan semeseter lalu, Rio dan keluarga berkunjung ke Australia.
Seorang bocah berumur empat tahun diam-diam memperhatikan perbicangan kami dari kejauhan. Perlahan, Ichang, adik Rio mendekati kami. Mulanya pemalu namun dengan sogokan beberapa jelly, Ichang akhirnya bergabung bersama kami. Ichang tak kalah lucu dari Rio. Bocah berponi ini gemar meniru dan menyauti semua omongan kakaknya.
Rio dan Ichang terus berbicara sementara saya sudah mulai mengantuk. Si mas, yang melihat saya sudah kelelahan, akhirnya menyuruh keduanya untuk tidur.
"Besok sekolah siang jam 10. Kelasnya dipakai anak kelas satu. Ruangan di sekolah tak cukup untuk semua murid," kata Rio dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Keduanya akhirnya menurut. Mereka meninggalkan teras depan kamar saya. Dan akhirnya saya pun bisa kembali ke kamar dan membereskan tas. Besok, pukul 08.20 WIB, shuttle bus akan menjemput dan mengantar saya ke Gili.
-bersambung-
boleh share ga?? kalo naik damri ke ressa homestay turun dimana?
ReplyDelete